REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar hukum tata negara yang juga mantan ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Jimly Asshiddiqie menilai terdapat dua poin yang perlu dikritisi dalam usulan revisi keempat terhadap Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK. Pertama adalah evaluasi hakim dari lembaga pengusulnya.
Jelasnya, dalam konteks pengisian jabatan hakim konstitusi, DPR, presiden, dan Mahkamah Agung (MA) diberi amanat untuk mengisi jabatan hakim MK dengan cara memilih atau mengajukan masing-masing sebanyak tiga orang hakim konstitusi. Itu diatur dalam Pasal 18a UU MK saat ini.
Artinya, hakim MK yang dipilih oleh DPR juga nantinya akan dievaluasi oleh lembaga legislatif itu sendiri. Sedangkan, hakim MK yang dipilih atau diajukan oleh MA akan dievaluasi oleh lembaga yang juga merupakan lembaga pemegang kekuasaan kehakiman itu.
"Jadi diajukan sesudah dipilih oleh, jadi DPR itu memilih (hakim MK) bukan (hakim MK) dipilih dari, tapi dipilih oleh itulah Bapak/Ibu (Komisi III)," ujar Jimly dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) dengan Komisi III DPR terkait revisi UU MK, dikutip Jumat (31/3).
Kedua adalah recalling atau penarikan kembali hakim MK. Artinya, hakim MK dapat ditarik kembali jika dalam hasil evaluasinya dianggap buruk oleh pengusulnya, dalam hal ini adalah MA, presiden, atau DPR.
Di sini ada pasal evaluasi dan recalling, kalau yang lain-lain itu bisa lah kita urun rembuk. Tapi soal ini, tidak ada di seluruh dunia, saya tidak tahu di akhirat nanti ada recalling hakim konstitusi itu," ujar Jimly.
"Jadi bab mengenai evaluasi dan recalling itu tidak bener itu, jadi saran saya dicoret lah itu. Ini bukan salahnya saudara-saudara Panja, ini kan saya tahu drafnya dari Baleg, jadi lumayan juga dosanya di Baleg sana," sambung anggota DPD itu.
Ia menilai, usulan revisi keempat terhadap UU MK merupakan bentuk kemarahan dari eksekutif dan legislatif. Khususnya, setelah MK menyatakan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta KErja dinyatakan inkonstitusional bersyarat.
"Ini semua orang marah, kalau dulu waktu kami (masih di MK) memutus terkait anggaran pendidikan itu yang marah itu hanya eksekutif. Yang kemarin itu (putusan MK terkait UU Cipta Kerja) legislatif, eksekutif marah semua," ujar Jimly.
Sebelumnya, Ketua Komisi III DPR Bambang Wuryanto mengatakan, pihaknya mengusulkan kembali revisi UU MK. Adapun undang-undang tersebut sudah direvisi sebanyak tiga kali dan terakhir disahkan pada September 2020.
Ditanya, apakah usulan revisi tersebut berkaitan dengan hakim MK, Aswanto yang sebelumnya telah diberhentikan oleh DPR? Ia menjawab bahwa itu menjadi salah satu alasan Komisi III. Termasuk dalam mengevaluasi hakim-hakim agar menjalankan tugasnya.
"Itu (pemberhentian Aswanto) bagian, itu kenapa sih undang-undang kita dibatal-batalin terus (oleh MK), dia kan setidaknya tata beracara yang paling bener, walaupun itu belum ditulis (dalam revisi UU MK)," ujar Bambang usai rapat kerja dengan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD di Gedung Nusantara II, Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (15/2).
Ungkapnya, salah satu alasan pihaknya merevisi UU MK adalah untuk mengevaluasi hakim-hakim yang tak menjalankan tugasnya. Tak segan, ia mengungkap bahwa evaluasi terhadap hakim diperlukan agar undang-undang yang telah dihasilkan DPR tak dibatalkan lewat sebuah gugatan.
"Mengevaluasi hakim-hakim yang tidak menjalankan tugasnya. Nah tugas-tugasnya, peraturan MK sekarang kita baca semua, supaya kita clear di dalam membuat UU tidak di-JR (judicial review) malu. DPR malu, kalau UU di-JR kemudian dibatalkan," ujar Bambang.