Pun dikatakan Boyamin, dalam penyidikan terkait dengan Paket 4 dan 5, juga masih ada satu nama, yang sampai saat ini masih belum dijerat sebagai tersangka. “Itu inisialnya JS. Dan dari JS ini, dugaan nilai kerugian negaranya saja sudah sekitar (Rp) 1 triliun,” terang Boyamin.
Dari data yang diperoleh Republika.co.id pada awal penyidikan kasus ini, Paket 1 sampai 5 dalam pembangunan dan penyediaan infrastruktur BTS 4G Bakti Kemenkominfo ini terdiri dari 4.200 titik pembangunan di wilayahh terluar Indonesia. Paket 1 di tiga wilayah; Kalimantan sebanyak 269 unit, Nusa Tenggara 439 unit, dan Sumatera 17 unit. Paket 2 di dua wilayah; Maluku sebanyak 198 unit, dan Sulawesi 512 unit. Paket 3 di dua wilayah; Papua 409 unit, dan Papua Barat 545 unit.
Paket 4 dan Paket 5 di wilayah; Papua 966 unit, dan Papua 845 unit. Jumlah tersebut dari total keseluruhan pembangunan 7.000-an pembangunan menara telekomunikasi nirkabel dengan anggaran biaya mencapai Rp 28 triliun sampai 2025.
Dalam penyidikan, dugaan korupsi pada lima paket tersebut, merugikan keuangan negara Rp 8,32 triliun dari Rp 10 triliun yang sudah digelontorkan pemerintah sepanjang 2020-2022. Boyamin melanjutkan, dari dugaan dalam klaster pembangunan dan penyediaan infrastruktur BTS 4G tersebut, juga ada klasifikasi terduga pelaku korupsi lainnya. Yaitu para pemborong atau konsorsium pemenang tender pembangunan dan juga subkontraktor penyedia infrastruktur.
“Dari pemborong, dan subkontraktor ini, yang paling besar kerugian negaranya ada di subkontraktor. Terutama subkontraktor yang menyediakan baterai dan panel surya, atau power system. Karena BTS ini dibangun di wilayah yang sulit listrik,” kata Boyamin.
Kata Boyamin, para subkontraktor penyedia infrastruktur itu dikendalikan oleh satu perusahaan yang mendapatkan fee komisi sebagai jasa untuk terlibat dalam proyek tersebut. “Dari komisi sebagai koordinator itu saja, dia mendapatkan (Rp) 75 miliar, dan 2,5 juta dolar atau sekitar 40-an miliar,” ujar Boyamin.
Uang tutup mulut...