Jumat 08 Sep 2023 14:18 WIB

KPPPA: Banyak Korban Kekerasan tak Ajukan Restitusi

KPPPA sebut banyak korban kekerasan tidak mengajukan hak restitusi atau ganti rugi.

Rep: Rizky Suryarandika/ Red: Bilal Ramadhan
Ilustrasi Kekerasan Terhadap Perempuan. KPPPA sebut banyak korban kekerasan tidak mengajukan hak restitusi atau ganti rugi.
Foto: Pixabay
Ilustrasi Kekerasan Terhadap Perempuan. KPPPA sebut banyak korban kekerasan tidak mengajukan hak restitusi atau ganti rugi.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) menyoroti restitusi atau ganti kerugian yang belum optimal diajukan oleh Aparat Penegak Hukum (APH). Hal ini dipandang sebagai tantangan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak. 

Plt. Asisten Deputi Pelayanan Perempuan Korban Kekerasan KPPPA, Margareth Robin Korwa menyebut salah satu pemenuhan hak korban adalah diberikannya restitusi dari pelaku sebagai biaya ganti rugi atas tindak pidana yang dilakukan. 

Baca Juga

"Masih banyak korban yang tidak paham atau enggan untuk mengajukan restitusi," kata Margareth dalam keterangannya pada Jumat (8/9/2023). 

Merespon hal itu, Ketua Pengadilan Tinggi Sulawesi Barat, Nirwana menyampaikan salah satu hambatan pengajuan restitusi karena korban enggan meminta restitusi yang dianggap meringankan atau membebaskan pelaku dari hukuman penjara. Menurutnya, peran penyidik penting untuk memberikan informasi agar para korban mengetahui hak restitusi dan dapat memudahkan proses pengajuan ke LPSK.

"Hak restitusi diharapkan disampaikan kepada korban sejak awal oleh rekan-rekan penyidik. Sehingga korban kekerasan dan keluarga tahu mengenai haknya dan korban memahami bahwa restitusi tidak akan membebaskan pelaku dari pidana penjara,” ucap Nirwana.

Sementara itu, Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Umum Kejaksaan Agung RI, Robert Sitinjak mendorong para jaksa dapat merespon kebutuhan restitusi bagi korban melalui pelacakan dan pemblokiran aset pelaku. Hal itu dilakukan untuk meminimalisir pelaku mengalihkan aset mereka.

"Sehingga akhirnya restitusi tidak dapat dibayarkan pada korban," ujar Robert. 

Dosen Universitas Sultan Ageng Tirtayasa sekaligus viktimolog, Rena Yulia menyampaikan pencantuman nilai tuntutan ganti kerugian dalam tuntutan pidana diperhitungkan berdasarkan kerugian materil yang dapat dibuktikan sebagai akibat langsung tindak pidana.

Adapun unsur kerugian yang diderita oleh korban dan bisa diajukan untuk restitusi antara lain biaya pengobatan, biaya konseling, kehilangan pendapatan atau keuntungan yang dapat diperhitungkan, biaya pemakaman dan penguburan.

"Kemudian biaya transportasi selama mengurus proses restitusi, hilangnya kebahagiaan dalam hidup, akibat penderitaan yang dialami, biaya penggantian atau perbaikan aset dan properti dan biaya tambahan lain yang dapat dibuktikan penggunaannya," ujar Rena.

Atas dasar itulah, KPPPA mendorong APH memberikan hak korban kekerasan seksual untuk mendapatkan restitusi. Peran APH dipandang penting untuk mengedukasi korban dan keluarga korban mengenai hak restitusi. Hal ini pasca diundangkannya Undang-undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). 

KPPPA bersama Kementerian/Lembaga menyusun peraturan turunan dari UU TPKS yang sekarang dalam proses harmonisasi. Peraturan tersebut terdiri dari 3 Peraturan Pemerintah dan 4 Peraturan Presiden. 

"Melalui peraturan tersebut diharapkan mampu menjadi acuan mengajukan restitusi untuk korban kekerasan seksual bagi para APH di lapangan," ujar Margareth.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement