REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Kualitas demokrasi harus terus diperbaiki bila bangsa Indonesia meyakini sistem tersebut merupakan solusi untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Di balik kebebasan yang mengedepankan hak asasi manusia itu, Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Lembaga Dakwah Islam Indonesia, KH Chriswanto mengingatkan pentingnya kebajikan dan kebijaksanaan dalam menjalankan demokrasi.
Apalagi menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) 2024, demokrasi Indonesia akan diuji kembali kualitasnya. “Para filsuf penganjur demokrasi mengingatkan mengenai virtue atau kebajikan dalam demokrasi. Kebajikan dan kebijaksanaan tersebut, harusnya tercermin dalam membuat berbagai aturan. Dan bahkan menjadi modal penting dalam memilih para pemimpin bangsa di masa depan,” ujarnya, kata dia, dalam keterangannya, Jumat (24/11/2023).
Demokrasi menurutnya merupakan pergulatan pemikiran sejak 2.000 tahun lalu, di dalamnya terjadi pertarungan pemikiran antara ide-ide sosialisme dan liberalism.
“Ide-ide ini sering bertentangan, karena kepentingan pribadi sering tak sejalan dengan kepentingan umum. Perpaduan kebebasan dan ambisi pribadi inilah, rentan memicu ketidakteraturan,” tutur dia.
Dia pun menjelaskan, sebab itulah demokrasi mengedepankan hukum, agar kebebasan individu tidak mengganggu masyarakat. Sejak era Reformasi, banyak perbaikan terkait demokrasi kita.
“Setiap orang kini berhak dipilih dan memilih pemimpin dan wakil mereka secara langsung. Artinya prosedur demokrasi telah berjalan dengan baik,” imbuhnya.
Harapannya, dengan demokrasi lahirlah tranparansi dan akuntabilitas yang kesemuanya bermuara pada kesejahteraan rakyat dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Persoalannya adalah bangsa Indonesia dihadapkan pada kualitas demokrasi yang tak beranjak naik.
“Kita dihadapkan pada persoalan prosedur demokrasi tersebut belum menghasilkan demokrasi substantif, dikarenakan keterpilihan belum menunjukkan keterwakilan sehingga aspirasi masyarakat belum tersalurkan dengan baik,” ungkap Kiai Chriswanto.
Biaya politik yang tinggi, menurut dia, mengakibatkan politik uang masih terjadi. Politik uang inilah, yang dia sebut sebagai biang keladi demokrasi Indonesia hanya sebatas prosedur bukan substantif.
Dia mengingatkan wakil-wakil rakyat yang terpilih karena kekuatan uang, hanya akan menghasilkan peraturan yang tidak berpihak pada rakyat.
“Tentu demokrasi seperti ini menjadi kurang sehat. Karena kepentingan pemodal yang dikedepankan, bukan kesejahteraan rakyat,” kata dia.
Politik uang ini selalu hadir dalam Pemilu. Untuk itu, Kiai Chriswanto mengingatkan para elite politik agar tidak merebut hati rakyat dengan uang, tapi atas dasar kemampuan, kebijaksanaan, integritas, dan program kerja,
“Pemenang adalah mereka yang terbaik bukan karena uang. Mereka yang bukan terbaik, biasanya menggunakan segala cara cara untuk menang seperti adu domba, fitnah, dan membelah persatuan kesatuan bangsa,” kata dia.
Dia berharap, jangan sampai cita-cita luhur para pendiri bangsa mengenai persatuan dan kesatuan, hancur karena Pemilu yang lima tahun sekali.
Baca juga: Syekh Isa, Relawan Daarul Quran di Gaza Syahid Sekeluarga dan Kisah Putri Dambaannya
“Persatuan dan kesatuan bangsa ini, juga merupakan harapan umat Islam di Indonesia. Untuk itu, kita memiliki kewajiban yang sama menjaga Indonesia, juga mengingatkan para elite politik dan siapapun agar tidak memecah belah bangsa,” kata dia.
Dalam alam demokrasi yang bebas ini, segala aturan untuk mempengaruhi prosedur demokrasi bisa saja terjadi. Tapi, di atas segala-galanya, menurut Kiai Chriswanto, para elite politik harus mengingat bahwa di dalam kebebasan itu terdapat virtue atau kebajikan, bahkan kebijaksanaan.
Dengan demikian demokrasi bisa tetap menghargai kebebasan individu, namun juga membawa kemaslahatan besar pada banyak orang.