REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) memastikan delapan pengungsi Rohingya tidak memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP) elektronik. Menurut Kemendagri, mereka hanya memiliki KTP palsu.
Sebanyak delapan warga negara asing (WNA) yang kini terdampar di Nusa Tenggara Timur (NTT) itu mendapatkan KTP palsu dari seseorang di Sumatra Utara.
"Delapan WNA Banglades tersebut menggunakan KTP-el palsu, dimana mereka mendapatkan KTP-el palsu tersebut dibuatkan dari orang Medan, Provinsi Sumatra Utara," kata Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kemendagri, Teguh Setyabudi lewat keterangannya, Kamis (21/12/2023).
Teguh menjelaskan, berdasarkan hasil koordinasi Dirjen Dukcapil dengan sejumlah pihak, diketahui bahwa KTP-el palsu tersebut bukan dikeluarkan oleh Dukcapil. KTP palsu itu hanya hasil pindai.
"Bentuknya seperti KTP-el hanya di-scan dan ada foto yang bersangkutan, lalu dilaminating serta di dalam blangko tersebut tidak terdapat chip," kata Teguh.
Teguh memastikan bahwa KTP palsu itu tidak dibuat oleh Dukcapil Belu, Kota Kupang dan Sikka. Delapan pengungsi itu mengakui mendapatkan KTP palsu tersebut dari seseorang di Sumatra Utara, tapi tidak mengetahui namanya.
"(Mereka) tidak menyebutkan Pemprov Sumut atau Pemkot Medan atau instansi lain (yang membuatkan KTP palsu tersebut). Mereka hanya menyebut (dibuatkan) 'abang', bahkan nama pun tidak tahu," ujar Teguh.
Sebelumnya, tim pengawasan orang asing Polres Belu, Nusa Tenggara Timur menangkap delapan pengungsi asal Rohingya di Desa Takirin, Kecamatan Tasifeto Timur, Kabupaten Belu, NTT.
Para pengungsi itu sebelumnya berangkat dari Bangladesh menuju Malaysia. Kemudian mereka melanjutkan perjalanan ke Medan dan berakhir di NTT.