REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI), KH Jeje Zaenudin menanggapi ratusan jamaah Majelis Tafsir Alquran Gunung Kidul menggelar Sholat Hari Raya Idul Adha pada Ahad (16/6/2024). Kiai Jeje mengatakan, ikhtilaf dalam masalah fikih, selama dalam batas perbedaan pemahaman dan penafsiran atas dalil-dalil syariat yang memang mengandung pemaknaan yang bisa berbeda adalah hal yang wajar dan ditolerir. Seperti dalam memahami dalil terkait puasa dan lebaran Idul Adha manakala kalender dalam negeri sendiri berbeda dengan kalender atau penanggalan negara Arab Saudi.
"Manakah yang harus dijadikan patokan puasa Arafah dan Idul Adha, apakah mengikuti Arab Saudi atau Indonesia, ini ikhtilaf yang memang sudah berlangsung sejak dahulu," kata Kiai Jeje kepada Republika, Ahad (16/5/2024).
Kiai Jeje mengatakan, namun demikian, sebisa mungkin ikhtilaf dalam fikih ibadah yang melibatkan orang banyak atau masyarakat luas seperti sholat lebaran, yang terbaik adalah mencari dan memilih pemahaman yang memungkinkan adanya titik persamaan dan memperkecil perbedaan. Ini dimaksudkan demi menghindari munculnya fitnah perpecahan.
Namun jika memang tidak bisa dihindari, maka setiap orang harus berlapang dada dalam menyikapi perbedaan, dengan tidak saling menyalahkan apalagi saling menuduh sesat dan memvonis bahwa amalnya tidak diterima Allah SWT. Sebab perbedaan masalah tersebut memang sudah ada sejak dahulu.