REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Majelis Masyayikh menyatakan pendidikan pesantren secara sah telah mengantongi pengakuan negara dan menjadi jaminan kesetaraan setelah diundangkannya UU No 18 Tahun 2019 tentang Pesantren, sehingga siswa-siswanya tidak perlu mengikuti ujian kesetaraan.
"Ketika negara ini belum lahir, pesantren setidaknya sudah melakukan pemberantasan buta huruf, terutama menjadikan sadar sebagai orang yang beragama. Ini sudah bermula jauh sebelum Indonesia lahir. Tetapi bentuk pengakuan dari negara baru muncul tahun 2019 melalui Undang-Undang Pesantren No. 18 Tahun 2019," ujar Sekretaris Majelis Masyayikh Muhyiddin Khotib dalam keterangannya di Jakarta, Kamis.
Pernyataan Muhyiddin tersebut disampaikan pada forum bertajuk “Review Draf 2 Dokumen Sistem Penjaminan Mutu Internal dan Eksternal Pendidikan Formal Pesantren” yang dihadiri 56 undangan, terdiri atas penulis dokumen, peninjau, perwakilan dari Kementerian Agama RI, dan pimpinan pesantren.
Kegiatan peninjauan dokumen sistem penjaminan mutu ini akan diuji dan akan menjadi acuan dalam penjaminan mutu pendidikan pesantren ke depan.
Menurut dia, dokumen sistem penjaminan mutu internal dan eksternal pendidikan formal pesantren nantinya akan menjadi acuan pendidikan formal pesantren dalam menerapkan sistem penjaminan mutunya. Pendidikan pesantren bukanlah pendidikan alternatif, melainkan pendidikan yang asli dan terus dirawat dari generasi ke generasi dan sudah diakui negara.
Ia menjelaskan kalangan pesantren telah memiliki legalitas yang jelas dan derajat status yang sama dengan pendidikan formal lainnya. Tidak boleh ada lagi pihak-pihak yang mempermasalahkan legalitas ijazah pendidikan pesantren.
"Usai adanya UU Pesantren semua pihak harus mengakui dan tidak boleh menolak legalitas ijazah pesantren karena akan berhadapan dengan hukum," kata dia.
Melalui UU tentang Pesantren, penyelenggaraan pendidikan pesantren diakui sebagai bagian dari penyelenggaraan pendidikan nasional dalam Sistem Pendidikan Nasional, lulusannya sederajat lulusan madrasah, sekolah atau perguruan tinggi yang dikenal di kalangan masyarakat Indonesia.
"Dokumen ini akan mengatur mekanisme penjaminan mutu pendidikan formal pesantren. Lulusannya setara dengan MI, SD, hingga perguruan tinggi," kata Muhyiddin Khotib.
Pengasuh Pesantren Al-Anwar Sarang, Abdul Ghofur Maimoen mengatakan setelah negara memberikan pengakuan penuh, maka kini pesantren tak lagi menghadapi isu rekognisi negara, akan tetapi kualitas lulusannya. Inilah fungsi sistem penjaminan mutu pendidikan pesantren yang sedang disusun Majelis Masyayikh.
"Segala hal yang terkait dengan pendidikan pesantren itu tidak boleh ditinggalkan kekhasannya. Undang-Undang pesantren telah memberikan rekognisi, afirmasi dan fasilitasi terhadap pesantren dalam melaksanakan fungsi pendidikan, dakwah, dan pemberdayaan masyarakat," kata Ghofur yang juga anggota Majelis Masyayikh ini.
Ghofur meminta semua pihak memahami substansi UU No 18 tentang Pesantren, yang memberikan derajat setara tanpa harus mengikuti ujian persamaan Kemdikbud atau Kemenag antara pendidikan formal dan nonformal pesantren. Alumni Pesantren secara terbuka berhak mengakses jenjang pendidikan dan pekerjaan tanpa harus khawatir ditolak persoalan administratif.
"Secara umum alumni pesantren dan sekolah umum derajatnya sama, yang membedakan hanya pada pilihan spesialisasi atau kompetensi bidang. Yang menyebabkan alumni pesantren tidak lolos seleksi adalah ujian, bukan syarat administratif atau legalitas ijazah, itu perlu dipahami betul oleh semua pihak," kata dia.