Kamis 01 Aug 2024 16:21 WIB

Menjadi Mata-Mata, Bagaimana Hukumnya dalam Islam?

Bagaimana hukum menjadi mata-mata menurut Islam?

Red: Hasanul Rizqa
mata-mata (ilustrasi)

Dari ekspedisi spionase tersebut, kubu Muslimin berhasil mendulang informasi bahwa kekuatan musuh mencapai seribu orang, yang terdiri atas 300 orang pasukan berkuda dan 700 orang pasukan berunta.

Masih dalam konteks menjelang Perang Badar, Nabi SAW bersama beberapa sahabat menunggang kuda mengelilingi medan Lembah Badar. Sebab, itulah yang akan menjadi tempat pertempuran.

Kemudian, lewatlah seorang Arab Badui. Nabi SAW yang berpenampilan selayaknya orang biasa menanyakan kepada Badui tersebut keadaan pasukan Quraisy.

Lantas, bagaimana bila praktik spionase itu terhadap Muslimin? Bagaimana jika orang Islam yang dimata-matai? Bahasan ini dibagi menjadi dua hal.

Pertama, orang Islam yang memata-matai kekuatan umat Islam untuk dilaporkan kepada musuh. Kedua, orang kafir-lah yang memata-matai Muslimin.

Hukum orang Islam yang memata-matai saudara seiman adalah haram. Ulama berbeda pendapat ihwal jenis hukuman untuk si pelaku. Sebagian menghukuminya dengan takzir, yakni jenis dan jumlahnya diserahkan kepada pengadilan.

Ini berdasar pada kisah Hathib bin Balta'ah yang mengirimkan pesan kepada kaum musyrikin Makkah lewat seorang kurir wanita. Kejadian ini terbongkar berkat informasi dari Rasulullah SAW.

Nabi SAW menolak usulan Umar bin Khattab yang ingin agar Hathib dihukum mati. Beliau lalu menyerahkan jenis hukuman kepada kaum Muslimin.

Sementara itu, Ibnu Hajar al-Asqalani berpendapat lain. Menurutnya, seorang Muslim yang memata-matai umat Islam untuk dilaporkan kepada pihak musuh bisa dijatuhi hukuman mati. Dalilnya pun pada hadis soal Hathib.

Menurut Ibnu Hajar, Hathib mendapat keistimewaan hukuman berupa takzir karena ia adalah ahlu Badar (pernah turut dalam Perang Badar), seperti yang disabdakan Rasulullah SAW. Sementara yang lain tidak mendapat keistimewaan tersebut.

Soal orang kafir yang memata-matai umat Islam pun hukumnya dibagi menjadi dua. Pertama untuk kafir harbi, yakni pihak kafir yang sedang memerangi umat Islam. Kedua, kafir dzimmi yang terikat perjanjian damai dengan Muslimin.

Para ulama sepakat jika yang memata-matai umat Islam adalah seorang kafir harbi, maka ia bisa dijatuhi hukuman mati. Namun, jika yang memata-matai adalah seorang kafir dzimmi, para ulama terbelah pendapat ihwal ini.

Sebagian sepakat, meski terikat perjanjian dengan umat Islam, kafir dzimmi yang terbukti memata-matai umat Islam bisa dijatuhi hukum mati.

Adapun Imam Malik dan Abdurrahmah al-Auzai mengatakan, kafir dzimmi yang memata-matai tidak boleh dibunuh. Namun, status perjanjian dan hak dia untuk dilindungi menjadi batal.

 

Dari tokoh ramai dibicarakan ini, siapa kamu jagokan sebagai calon gubernur DKI Jakarta 2024

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement