REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Denny Indrayana menegaskan eksekusi terhadap terpidana kasus korupsi Komjen Pol Susno Duadji harus tetap dilakukan.
"Tidak boleh ada yang bisa mengangkangi atau membangkang eksekusi putusan pengadilan," kata Denny di sela-sela Seminar Nasional AKIP bertema "Strategi Membangun Komunikasi yang Efektif Melalui Media Massa" di Cinere, Depok.
Denny menilai putusan yang dijatuhkan kepada mantan Kabareskrim Polri itu tidak bisa dianggap keliru kecuali dibatalkan oleh putusan yang lebih tinggi. Artinya, yang bisa membatalkan putusan Mahkamah Agung terhadap Susno hanyalah Mahkamah Agung dengan proses Peninjauan Kembali (PK).
Menurut dia, yang berhak membatalkan putusan Pengadilan Negeri hanya Pengadilan Tinggi, sementara putusan Pengadilan Tinggi hanya Mahkamah Agung.
Denny juga menegaskan bahwa Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung telah menyatakan bahwa Susno terbukti melakukan tindak pidana korupsi dan divonis 3 tahun 6 bulan. Jika tidak setuju dengan putusan tersebut, Susno harus mengajukan Peninjauan Kembali (PK).
"Semua orang harus menghormati keputusan pengadilan apalagi putusan MA yang sudah inkrah. Laksanakan, tunjukan. 'Gentle' aja lah. Eksekusinya harus dilakukan," katanya.
Dia berharap mantan Kapolda Jawa Barat itu bisa berbesar hati untuk menyerahkan diri. Menurutnya, masalah eksekusi itu bukan hanya soal mencederai wibawa hukum ini tetapi juga menyangkut wibawa Susno.
"Jadi ya mudah-mudahan beliau berbesar hati menyerahkan diri dan laksanakan eksekusi, kalau tidak ya upaya hukum yang harus dilakukan," kata Denny.
Susno Duadji yang gagal dieksekusi pekan lalu di Bandung itu hingga kini tidak diketahui keberadaannya. Ia telah dimasukkan ke dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) per Senin (29/4) lalu.
Ia terbukti menyalahgunakan wewenang saat menjabat Kabareskrim, ketika menangani kasus Arowana dengan menerima hadiah Rp500 juta untuk mempercepat penyidikan kasus itu.
Pengadilan juga menyatakan Susno terbukti memangkas Rp4,2 miliar yang merupakan dana pengamanan Pilkada Jawa Barat saat menjabat Kapolda Jabar pada 2008 untuk kepentingan pribadi. Atas tindakan tersebut, jenderal polisi berbintang tiga itu diganjar hukuman 3 tahun 6 bulan penjara.