REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-- Direktur Kajian Politik "Center for Indonesian National Policy Studies" (CINAPS) Guspiabri Sumowigeno mengingatkan pemerintah Indonesia agar bersikap hati-hati menanggapi permasalahan di Semenanjung Krimea.
"Kita perlu melihat persoalan ini lebih sebagai persoalan rivalitas antarnegara besar. Saya menyarankan Pemerintah untuk mengemukakan sikap yang berimbang, menampung pandangan kedua pihak," katanya di Jakarta, Rabu.
Masalah kedaulatan atas Semenanjung Krimea di Laut Hitam yang bertransformasi cepat dalam sebulan terakhir dari konflik Ukraina-Rusia menjadi pertarungan yang meruncing antara Amerika Serikat (AS) dan aliansi Barat pada satu sisi dengan Rusia pada sisi lain menyajikan tantangan tersendiri bagi otoritas politik luar negeri RI untuk menyikapinya.
"Sejarah yang nanti akan menilai, apakah sikap yang diambil sudah sejalan dengan prinsip bebas aktif demi kepentingan nasional," katanya.
Menurut dia, memang tidak mudah untuk mengambil posisi yang berimbang itu sekarang, mengingat situasi faktualnya dalam tahun-tahun belakangan ini, politik luar negeri bebas aktif RI semakin berada dalam tekanan arus kuat inisiatif internasional yang digerakkan oleh aliansi negara-negara Barat.
Namun, katanya, kasus penyadapan dan perlakuan lain yang tidak bersahabat dari negara-negara Barat pada Indonesia yang sejak era reformasi mencoba menjadi "good boy" dan bahkan dengan bersedia melepaskan wilayah Timor-Timur akan menjadi catatan tersendiri.
Ia mengatakan pemerintah Indonesia belum mengambil sikap mengenai hasil referendum di wilayah Krimea Ukraina yang mayoritas mutlak rakyatnya memilih untuk melepaskan diri dari Ukraina dan bergabung dengan Rusia.
Sikap hati-hati yang ditunjukkan Pemerintah sudah tepat, karena masalah ini masih akan berbuntut panjang dan tak mudah reda dalam waktu singkat. "Pemerintah jangan meninggalkan kebijakan yang bisa membuat Pemerintahan berikutnya rikuh terhadap AS maupun Rusia," katanya.
Menurut dia, persoalan kedaulatan atas wilayah Krimea yang mayoritas penduduknya berbahasa Rusia, bukan soal apakah referendum itu sah atau tidak dipandang dari hukum internasional, tetapi karena negara-negara besar tidak sepakat dengan pemindahan kekuasaan atas wilayah yang strategis dari segi geopolitik itu kepada Rusia.
Ia mengatakan soal status teritorial suatu negara selalu tergantung pada konsensus negara-negara besar. Dalam banyak kasus, suara rakyat di satu wilayah bukan soal penting. Kasus Kosovo, Tibet dan Palestina adalah sedikit contoh.