REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Istilah perlindungan umat beragama yang dipakai dalam Rancangan Undang-Undang Perlindungan Umat Beragama (RUU PUB) sebagai penegas dari sejumlah peraturan yang belum menjadi Undang-Undang dinilai terlalu berlebihan.
Hal ini seolah menunjukan terjadinya krisis dan penindasan terhadap salah satu agama minoritas di Indonesia.
“Itu lebay, seperti ada krisis lalu ada agama minoritas yang ditindas diperlakukan tidak adil, “ tutur Ketua Persekutuan Gereja Indonesia, Albertus Patty kepada ROL, Selasa (23/12)
Menurut Albertus saat ini yang lebih dibutuhkan masyarakat Indonesia adalah kebebasan dalam beragama dan kebebasan dalam beribadah. Hal ini sesuai dengan konstitusi dimana negara menjamin kebebasan beragama dan kebebasan beribadah.
“Tentang kebebasan, turunannya itu saja yang dibuat Undang-Undang, kenapa pakai nama lain,” tuturnya.
Bahkan menurut Albertus terkait pengaturan aktivitas penyaiaran agama yang menjadi salah satu poin yang rencananya akan dibahas dalam RUU PUB hal itu dinilainya tidak terlalu penting, mengingat toleransi antar umat beragama di Indonesia sudah baik.
“Kita sudah cukup saling menghargai dan mempunyai batasan-batasan sendiri, apa nanti khutbah diatur-atur, teologi juga diatur-atur,” katanya.
Menurut Albertus, kematangan umat beragama di Indonesia dalam menjalin hubungan antar umat beragama sudah cukup baik terlebih dengan toleransi dan kerukunan yang ditunjukan oleh umat Islam sebagai penganut agama mayoritas.
“Betapapun ada masalah kita tunjukan pada negara lain kita bisa selesaikan, silahkan Islam memimpin kita apresiasi itu dalam menjaga kebinekaan dan perdamaian,” katanya.