REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-- Mantan komisioner KPK, Haryono Umar, mengungkapkan KPK tidak bisa diberikan Instruksi Presiden (Inpres). Hal itu karena lembaga anti korupsi ini didirikan bukan berada di bawah presiden. Inpres ini rencananya akan dikeluarkan Presiden Joko Widodo terkait pemberantasan korupsi di Indonesia.
Pimpinan KPK periode 2007-2011 silam ini menjelaskan bahwa inpres hanya berlaku untuk institusi yang berada di bawah presiden. KPK sebagai lembaga independen negara tentunya tidak menjadi bagian tersebut. Jadi, inpres yang masih dalam proses final itu tidak berlaku untuk Komisi yang dua pimpinannya dinonaktif karena berstatus tersangka.
"Seumpamanya lembaga seperti KPK itu bukan inpres yang berlaku tapi Undang-undang atau minimal Perpu,"ujar Haryono kepada ROL, Kamis (5/3).
Menurut pria yang meraih gelar doktor di bidang Ekonomi dan Akutansi dari Universitas Padjadjaran itu, silahkan saja Presiden Jokowi mengeluarkan Inpres. Tapi tentunya harus ditujukan kepada pekerja pemerintah yang menjadi bawahannya.
Berulang kali Haryono menegaskan Inpres adalah instruksi presiden kepada bawahannya. Jangan sampai ada kesalahan persepsi bahwa Inpres ini nantinya akan melemahkan KPK karena instruksi tersebut tidak berlaku untuk lembaga yang pernah dipimpinnya ini.
Haryono sendiri mengaku belum tahu isi rancangan Inpres yang masih dalam tahap final dalam 4-6 hari kedepan. Ia belum tahu maksudnya apa dan akan ditujukan kepada siapa nantinya kebijakan tersebut. Kepada lembaga tertentu sajakah atau semua lembaga pemerintahan yang ada di Indonesia.
Inpres yang akan dikeluarkan presiden sebagai bentuk mengatasi polemik lembaga hukum di Indonesia yang saat ini marak diperbincangkan.
Sebelumnya diumumkan bahwa inpres ini nantinya akan fokus pada pencegahan korupsi yang ditangani tiga lembaga hukum yaitu KPK, Kejagung, dan Polri.