REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Pimpinan Wilayah Nahdhatul Ulama (PWNU) DI Yogyakarta mengatakan tak setuju dengan perubahan gelar Raja Keraton Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono X.
"Perubahan gelar itu (Sultan) sama sekali tidak bisa diterima. Ini keprihatinan keagamaan kami bukan ada unsur politis apaapaun. Ini demi menyelamatkan aqidah umat," ujar Wakil Ketua Tanfidziyah PWNU DIY, Jadul Maula di kantor PWNU DIY Yogyakarta, Selasa (2/6).
Raja Kraton Yogyakarta sebelumnya secara mendadak telah mengganti gelar kebesarannya yang sudah turun temurun. Gelar Sultan ke X di Yogya ini semula adalah Ngarsa Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono Senapati Ing Ngalaga Ngabdulrahman Sayidin Panatagama Khalifatullah Ingkang Jumeneng Kaping Sedasa Ing Ngayogyakarta Hadiningrat diubah menjadi Ngarsa Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Sri Sultan Hamengku Bawono Ingkang Jumeneng Kasepuluh Suryaning Mataram Senapati ing Ngalaga Langgeng ing Bawono Langgeng, Langgeng ing Tata Panatagama
Perubahan gelar ini dilakukan Sultan untuk menyesuaikan kondisi zaman dan sesuai dengan titah atau perintah yang diterimanya dari leluhur.
"Kenapa gelar ini kok diubah, ini pertanyaan yang besar karena gelar itu adalah kontrak teologis, sosiologis dan alam. Jika ini hilang maka akan bahaya dan membuat kekacauan," katanya.
Menurutnya akibat perubahan gelar tersebut ada keresahan dikalangan ulama NU baik di pesantren maupun di akademisi. Karena mereka beranggapan bahwa perubahan gelar ini telah menjadikan adanya stigmatisasi terhadap Islam.
Sebab gelar tersebut semua diambil dari Islam melalui perjalanan yang panjang. Sehingga jika gelar itu diubah maka ada proses pengaburan ke-Islaman tersebut.
"Ada hubungan yang erat antara kraton dengan pesantren. Bahkan pendirian kraton itu dulu juga atas kerja bersama para wali," jelasnya.
Diakuinya, gelar Ngabdulrahman mengandung arti bahwa meski menjadi raja, Sultan adalah tetap hamba Allah SWT yang memiliki kasih sayang dengan sesama. Jadi menurutnya, gelar ini sudah membatasi diri Sultan agar tidak otoriter.
Sedangkan gelar Sayidin Panotogomo mengandung arti adalah orang yang menata umat dengan agama yang berbeda. Gelar khalifatullah sendiri berarti Sultan adalah duta Allah SWT yang menegakkan kebenaran dan keadilan.
"Jadi gelar-gelar itu sangat penting. Itu (gelar) melalui proses panjang yang memang diberikan kepada raja agar bisa mensejahterakan umatnya," katanya.
Meski tidak terima atas perubahan gelar tersebut namun PWNU belum berencana membicarakan hal itu ke Sultan sendiri. PWNU akan mengumpulkan seluruh ulama, pesantren dan organisasi otonom NU di DIY untuk berdoa bersama menyikapi perubahan gelar Sultan tersebut.
Sementara itu dalam pernyataan sikapnya yang dibacakan Wakil Katib PWNU DIY, Hilmy Muhammad, mengatakan bahwa pernyataan Sultan yang mengatakan bahwa perubahan gelar yang dilakukannya merupakan dhawuh Gusti Allah melalui para leluhur itu bisa menyesatkan dan menyimpang dari akidah Islamiyah.
"Dalam pandangan kami dhawuh Gusti Allah itu merupakan wilayah hakikat yang seharusnya tidak bertentangan dengan syari'at. Klaim seperti itu bisa mengandung ilusi syaitoniyah dan sarat kepentingan pribadi," katanya.
PWNU kata dia, berkomitmen ikut menjaga dan mempertahankan Kasultanan Ngayogyokarto Hadiningrat dengan nilai dan paugeran yang berlaku. Karena menurutnya, jika dinyatakan posisi sabdaraja itu lebih tinggi dari paugeran maka sesungguhnya itu adalah langkah mundur.
"Serta mencerminkan bangkitnya otoritaritarianisme apalagi mengatasnamakan Tuhan itu preseden buruk," ujarnya.
PWNU menurutnya juga merasa prihatin atas konflik internal di Kraton Yogyakarta akibat perubahan gelar tersebut. PWNU mengajak seluruh masyarakat untuk istighotsah bersama untuk menyelamatkan Kraton Kasultanan Yogyakarta tersebut.