REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat hukum dan tata negara Universitas Parahyangan Bandung, Asep Warlan Yusuf, menilai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) melegalkan kerabat petahana untuk ikut dalam Pemilihan Kepala Daerah
(Pilkada) telah dipertimbangkan sesuai Undang-Undang Dasar 1945, terutama pasal 27 dan 28.
Karena menurutnya, MK tak memiliki alasan dan argumen filosofis yang kuat untuk melarang kerabat petahana ikut dalam kontestasi Pilkada. Terlebih, petahana dan kerabatnya, yang selalu diasosiasikan dengan politik dinasti, hanya sebuah asumsi.
''Ini kan asumsi bahwa kerabat semua petahana adalah buruk dan tidak demokratis. Itu karena kita berasumsi. Dan suatu hak hukum, norma, yang didasarkan dari asumsi, kurang kuat," papar Asep pada Republika.co.id, Jumat (10/7).
Asep mengaku dirinya tidak menyangkal adanya realitas keluarga petahana yang memang tidak menyehatkan demokrasi, seperti di Banten, misalnya.
"Tapi selebihnya (daerah), bisa saja kan bagus. Meskipun dia termasuk dalam keluarga petahana," tambahnya. Jadi, bukti empiris pun, kata dia, masih belum cukup untuk dijadikan sebuah norma yang mengatur soal proses demokrasi.
Selain itu, ia bependapat jika memang sebelumnya peraturan larang keluarga petahana dibuat agar tidak terjadi politik dinasti, seharusnya hal itu dibangun dengan sistem yang kuat. Artinya, tidak dimulai dengan sebuah peraturan atau undang-undang, melainkan juga ikut melibatkan proses kaderisasi dan seleksi ketat di internal partai politik.
Sebelumnya, MK mengabulkan gugatan uji materi Pasal 7 huruf r Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada. Uji tersebut berkaitan dengan konstitusionalitas aturan bagi calon kepala daerah agar tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana dalam pilkada.
Dalam pertimbangannya juga disebutkan bahwa UUD 1945 memberikan hak yang sama kepada seluruh warga negara untuk menggunakan hak konstitusionalnya, yakni hak untuk dipilih, sehingga materi dalam pasal tersebut jelas bertentangan dengan UUD 1945 dan terdapat muatan diskriminatif kepada warga negara.
Dalam putusannya, MK menilai materi yang ada dalam pasal 7 huruf r tersebut bertentangan dengan undang-undang dasar (UUD 1945) yakni pasal 28 J, di mana terdapat muatan diskriminatif.