REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi meminta agar tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang tidak dimasukkan ke dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RUU KUHP) karena dapat membatalkan kewenangan KPK memeriksa kasus korupsi.
Pada Senin(14/9), Direktur Jenderal Perundang-Undangan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Widodo Ekatjahjana datang ke KPK dan berdiskusi dengan pimpinan KPK yaitu Indriyanto Seno Adji dan Johan Budi Sapto Pribowo untuk membahas RUU KUHP tersebut.
"Begitu pula dengan delik-delik Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) agar tidak diintegrasikan ke dalam RUU KUHP dengan akibat yang sama terhadap KPK," tambah Indriyanto.
Alasan lain adalah adanya asas "Lex Specialis" pada RUU KUHP menyatakan secara tegas dan jelas tetap mempertahankan delik-delik tindak pidana korupsi yang tidak berdampak pada delegitimasi kelembagaan KPK.
"Andai tetap saja delik tipikor diintegrasikan kepada RUU KUHP, harus ada penegasan bahwa penegak hukum, termasuk KPK, tetap memiliki kewenangan melakukan pemeriksaan kasus tipikor atas delik-delik tipikor yang ada di dalam RUU KUHP maupun di luar KUHP. Tanpa masukan ini, dikhawatirkan terjadi delegitimasi kewenangan KPK atas kasus-kasus korupsi," jelas Indriyanto.
Bila masukan itu tidak didengarkan maka Indriyanto khawatir ada pelemahan KPK. "Bila tidak (didengar), maka KPK menjadi 'macan tanpa taring' alias 'macan ompong' saja," tegas Indriyanto.