Ahad 03 Jan 2016 07:08 WIB

Di Tahun 2015, Raja Keraton Yogyakarta Tiga Kali Sampaikan Titah

Rep: neni ridarineni/ Red: Muhammad Subarkah
Raja Keraton Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Bawono X  mengatakan perbedaan penentuan 1 Suro antara Keraton Yogyakarta dan pemerintah karena  menggunakan dasar perhitungan yang berbeda.
Foto: Antara
Raja Keraton Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Bawono X mengatakan perbedaan penentuan 1 Suro antara Keraton Yogyakarta dan pemerintah karena menggunakan dasar perhitungan yang berbeda.

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA - Sepanjang tahun 2015, sudah tiga kali  Raja Keraton Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Bawono Ka Sepuluh (HB X) mengeluarkan titahnya. Hal itu adalah titah raja yang disebut: Sabda Raja, Dhawuh Raja dan yang terakhir Sabda Jejering Raja.

Menurut menantu Sri Sultan HB X, KPH Purbodiningrat,  Raja Keraton Yogyakarta  menyampaikan titah Sabda Jejering Raja (pernyataan sebagai Raja),  pada Kamis pagi (31/12) sekitar pukul 10.00 WIB.

Namun, saat menyampaikan sabdanya,  adik-adik Raja Keraton Yogyakarta itu tidak ada yang datang. Hal ini diakui adik tiri Sultan HB X  GBPH Yudhaningrat saat ditemui di Kediamannya, Dalem Yudhonegaran, Kamis siang lalu (31/12).

‘’Saya tadi sekitar pukul 08.00 ditelpon oleh Mbak Gris, Sekretaris Keraton Yogyakarta disuruh sowan ke Siti Hinggil pakai peranakan karena Sultan Hamengku Bawono X akan mengadakan pisowanan terbatas untuk ngudhar sabda (red. menyampaikan pernyataannya). '' katanya.

Sementara itu Putri Sulung Sultan HB X, GKR Mangkubumi saat dikonfirmasi Republika.co.id lewat emailnya, apakah benar tadi Sultan HB X menyampaikan Sabda Raja?, dia menjawab secara singkat,’’Sabda untuk internal Mbak.’’

Sedangkan dari informasi yang diperoleh Gusti Yudho (panggilan akrab sGBPH Yudhaningrat), isi ngudhar sabda ada empat hal yakni: Pertama, pernyataan yang disampaikan itu berasal dari dhawuhnya Tuhan dan para leluhur.

Kedua,  tahta tidak bisa diwariskan, kecuali putranya.

Ketiga, mereka yang tidak mengindahkan aturan di Keraton dan menurut perintah Raja akan  pocot kalenggahannya (red. dipecat kedudukannya).

Keempat, Mereka yang telah dipecat kedudukannya harus keluar dari bumi Mataram. 

‘’Aturan tersebut tidak hanya khusus untuk abdi dalem, melainkan juga sedherek dalem, kawula dalem,’’ tuturnya.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement