Senin 03 Apr 2017 11:59 WIB

Pengamat: Isu Makar Hanya di Negara yang Demokrasinya Terbelakang

Rep: Dadang Kurnia/ Red: Angga Indrawan
Sekjen Forum Umat Islam, Muhammad al Khaththath, yang diamankan dalam sangkaan permufakatan makar.
Foto: Yasin Habibi/Republika
Sekjen Forum Umat Islam, Muhammad al Khaththath, yang diamankan dalam sangkaan permufakatan makar.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat hukum dari Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar berpendapat, dalam era demokrasi di Indonesia saat ini, pasal makar sudah tidak sesuai. Bahkan, menurutnya isu makar hanya ada dan muncul di negara yang praktik demokrasinya terbelakang.

"Demokrasi yang terbelakang," kata Fickar saat dihubungi Republika.co.id, Senin (3/4).

Pasal makar, lanjut Fickar, menjadi tidak sesuai lagi di era demokrasi saat ini karena beberapa hal. Di antaranya adalah karena sudah ada Undang-Undang tentang terorisme dan ada konstitusi yang mengatur tentang pemakzulan presiden.

Fickar kemudian menerangkan pengertian makar yang menurut KUHP ada tiga. Pertama, membunuh atau merampas kemerdekaan presiden (Pasal 104). "Kedua, memisahkan sebagian wilayah dari Indonesia atau ke negara lain (Pasal 106), dan ketiga menggulingkan pemerintahan (Pasal 107)," ujarnya.