Senin 22 Apr 2019 10:32 WIB

Pasca-Serangan Bom, Sri Lanka Blokir Media Sosial

Pemblokiran dilakukan Sri Lanka sebagai bentuk pencegahan beredarnya informasi palsu.

Rep: Puti Almas/ Red: Friska Yolanda
Polisi dan pekerja penyelamat memeriksa sisa-sisa korban di tempat kejadian setelah ledakan di Gereja St Anthony di Kochchikade di Kolombo, Sri Lanka, Ahad (21/4/2019).
Foto: EPA-EFE/Stringer
Polisi dan pekerja penyelamat memeriksa sisa-sisa korban di tempat kejadian setelah ledakan di Gereja St Anthony di Kochchikade di Kolombo, Sri Lanka, Ahad (21/4/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, KOLOMBO -- Pihak berwenang Sri Lanka memblokir sejumlah media sosial  setelah terjadinya serangan bom pada Ahad (21/4) lalu di tiga gereja dan tiga hotel negara itu. Pemblokiran dilakukan sementara sebagai bentuk pencegahan beredarnya informasi palsu (hoaks).

Selain itu, pihak berwenang Sri Lanka juga bermaksud meredakan ketegangan yang terjadi pasca insiden pemboman tersebut. Sejumlah media sosial yang diblokir di negara itu, dilaporkan oleh observatorium Netblocks adalah Facebook, Youtube, Whatsapp, Instagram, Snapchat, dan Viber. 

Baca Juga

Kementerian Pertahanan Sri Lanka dalam sebuah pernyataan mengatakan pemblokiran media sosial akan berlanjut hingga penyelidikan atas serangan bom tersebut selesai dilakukan. 

Pada Ahad (21/4) kemarian, serangkaian pemboman terkoordinasi terjadi di tiga gereja dan tiga hotel di negara itu. Setidaknya 207 orang tewas dan 450 orang terluka dalam insiden ini. 

Secara keseluruhan, terdapat delapan ledakan yang timbul dari pemboman di gereja. Sebagian besar korban adalah warga Kristiani Sri Lanka yang sedang menghadiri ibadah kebaktian Paskah.

Sementara itu, hotel-hotel yang terkena serangan bom adalah Cinnamon Grand, Kingsbury, dan Shangri-La. Hotel-hotel ini terletak di jantung Ibu Kota Kolombo. Setidaknya 35 orang, kebanyakan adalah turis asing tewas dalam insiden ini. 

Menurut Netblocks, pemblokiran media sosial pasca adanya serangan teror dan sejenisnya seringkali tidak efektif. Hal itu karena kekosongan infomasi justru menjadi celah bagi pihak tertentu untuk melakukan ekploitasi berita, yang menambah situasi mencekam.

"Apa yang kami lihat adalah bahwa ketika media sosial ditutup, itu menciptakan kekosongan informasi yang siap dieksploitasi oleh pihak lain. Itu bisa menambah rasa takut dan panik,” ujar direktur eksekutif NetBlocks, Alp Toker dilansir Fox News//, Senin (22/4).

Ini bukanlah pertama kalinya Pemerintah Sri Lanka memblokir media sosial. Sebelumnya, pemerintah negara itu pernah memberlakukan hal serupa pada Maret 2018 selama satu pekan penuh. 

Pemblokiran media sosial di Sri Lanka saat itu dilakukan karena kekhawatiran aplikasi chat Whatsapp dan platform lainnya digunakan untuk menggerakkan kekerasan anti-Muslim di wilayah tengah negara tersebut. Dari sebuah analisis, tidak ada hasil yang cukup efektif selama pemberlakuan hal itu. 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement