Ahad 29 Sep 2019 06:14 WIB

Mesir Perlonggar Pengamanan Setelah Demonstrasi Digagalkan

Demonstrasi menuntut presiden Mesir mundur terjadi sejak 20 September.

Rep: Dwina Agustin/ Red: Nur Aini
Suasana Lapangan Tahrir atau Tahrir Square di Kairo, Mesir, Jumat (27/9).
Foto: EPA/Khaled Elfiqi
Suasana Lapangan Tahrir atau Tahrir Square di Kairo, Mesir, Jumat (27/9).

REPUBLIKA.CO.ID, KAIRO -- Mesir telah melonggarkan pengamanan di Kairo, setelah seharian menutup alun-alun dan jalan raya pusat kota. Penutupan tersebut untuk menggagalkan protes yang menuntut Presiden Abdel-Fattah El-Sisi mundur.

Alun-alun Tahrir yang menjadi pusat demonstrasi pro-demokrasi pada 2011 sebelumnya ditutup. Baru pada Sabtu (28/9) tempat tersebut akhirnya dibuka dan lalu lintas berjalan normal.

Stasiun kereta bawah tanah di daerah yang telah ditutup sehari sebelumnya pun sudah kembali dibuka dan menjalankan aktivitas seperti biasanya. Semua tempat sudah mulai kembali berjalan dengan pengamanan yang tidak terlalu ketat.

Laporan Arabnews, berita utama di harian pro-pemerintah memuat komentar dari Presiden Sisi yang memperingatkan terhadap upaya penipuan untuk mendiskreditkan pemerintahannya. Sejak 20 September lalu, ratusan warga Mesir turun ke jalan dan menuntut Sisi mundur dari jabatannya sebagai presiden.

Mesir dilaporkan telah menangkap dan menahan lebih dari 2.000 orang, termasuk pengacara, aktivis HAM, aktivis politik, dan akademisi yang berpartisipasi dalam aksi demonstrasi anti-Sisi pada 20-21 September. Meskipun jaksa penuntut umum Mesir mengatakan, tidak lebih dari 1.000 orang ditangkap atas protes terbaru.

Atas penangkapan itu, Komisioner Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia (HAM) Michelle Bachelet menyatakan, keprihatinan mendalam atas penahanan massal pekan ini. "Saya mendesak pihak berwenang untuk secara radikal mengubah pendekatan mereka terhadap setiap protes di masa depan, termasuk yang mungkin terjadi hari ini," kata Bachelet dalam sebuah pernyataan, dikutip dari the Guardian.

Amnesty International meminta para pemimpin dunia untuk mencegah tindakan keras terhadap demonstran. Prakarsa Franco-Mesir untuk Hak dan Kebebasan menerbitkan surat kepada Presiden Prancis Emmanuel Macron menyerukan kepada pemerintahnya untuk secara serius mempertimbangkan tanggung jawabnya mengenai penggunaan senjata Prancis terhadap pengunjuk rasa yang damai.

"Banyak orang Mesir yang gugup tentang pemberontakan baru. Orang harus ingat dari perspektif sebagian besar rakyat Mesir, mereka telah menggulingkan dua pemerintah sejak 2011 dan bagi kebanyakan dari mereka standar hidup mereka memburuk," kata Pakar Politik Institut Tahrir untuk Kebijakan Timur Tengah Timothy E Kaldas

Kaldas mengatakan, popularitas Sisi dan pemerintahannya telah menurun selama bertahun-tahun. Hal itu terjadi karena kelayakan hidup warga Mesir turun dan tingkat kemiskinan telah meningkat secara substansial. 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement