REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) dan Indonesia Corruption Watch (ICW) tengah menunggu putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait masa tunggu bagi mantan terpidana korupsi dapat mencalonkan diri dalam pemilihan kepala daerah (pilkada). Perludem dan ICW meyakini MK mengabulkan permohonan adanya masa tunggu tersebut.
"Saya pribadi yakin Mahkamah Konstitusi akan kabulkan permohonan kami," ujar Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini dalam siaran persnya, Selasa (10/12).
MK pada Rabu (11/12) akan memutuskan perkara permohonan uji materi yang diajukan ICW atas Pasal 7 ayat (2) huruf g Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah (UU Pilkada). Keduanya meminta MK memutuskan ada jeda bagi mantan terpidana, khususnya terpidana korupsi yang ingin maju pilkada yakni selama 10 tahun usai menjalani pidana pokok.
Ia memaparkan, beberapa pertimbangan yang membuatnya meyakini MK akan mengabulkan permohonan. Pertama, MK langsung membacakan pengucapan putusan setelah dilakukan dua kali persidangan pemeriksaan permohonan (pemeriksaan pendahuluan).
MK juga menjadwalkan pembacaan putusan tanpa terlebih dahulu mendengarkan keterangan dari DPR, pemerintah, maupun ahli dari para pihak. Kedua, ICW dan Perludem mengklaim mengajukan argumen yang sangat kuat berkaitan dengan permohonan itu.
"Antara lain fakta politik terkini dimana mantan napi (korupsi) yang dicalonkan lagi di pilkada teryata kembali mengulangi perbuatannya melakukan tindak pidana dan terkena OTT KPK, seperti pada kasus Muhammad Tamzil, Bupati Kudus yang terpilih di Pilkada 2018 dan terkena OTT KPK pada 2019," kata Titi.
Selain itu, lanjut dia, ketiadaan masa tunggu (jeda) dari bebasnya mantan napi dengan pencalonan yang bersangkutan di pilkada, membuat parpol dengan mudah mencalonkan mantan napi dan diikuti keterpilihan yang bersangkutan. Misalnya saja pemilihan bupati di Minahasa Utara dan Solok.
Kemudian, Titi berharap ada langkah ekstra yang dilakukan Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI dalam melakukan pengaturan teknis dalam pelaksanaan pilkada. Sehingga, pemilih bisa maksimal mendapatkan informasi atas rekam jejak calon kepala daerah.
"Khususnya berkaitan dengan masalah hukum yang pernah dihadapi calon. Termasuk pula pengaturan teknis yang kongkrit untuk menghindarkan pemilih dari memilih figur-figur yang bermasalah hukum," lanjut Titi.
Koordinator Divisi Korupsi Politik ICW, Donal Fariz, mengatakan, larangan mantan terpidana kasus korupsi menjadi calon kepala daerah dengan batasan waktu setidaknya lima pernah diputuskan MK melalui perkara yakni Putusan 4/PUU-VII/2009. Namun, Perludem dan ICW meminta masa tunggu tersebut ditingkatkan menjadi selama 10 tahun atau dua siklus pemilihan kepala daerah.
"Sesuai yang dimohonkan oleh ICW dan Perludem, penting ada masa tunggu bagi mantan koruptor untuk dapat kembali mencalonkan diri sebagai kepala daerah, terhitung sejak yang bersangkutan selesai menjalani pidananya," ujar Donal.
Larangan Nyaleg Mantan Koruptor