REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar pendidikan, Arief Rachman beranggapan bahwa penggantian format penilaian UN dengan asesmen dan survei dinilai menjadi langkah baik. Sebab, jika merujuk pada UN sebelumnya, ada kegiatan yang berujung negatif, bahkan berpotensi ada penyulapan nilai dari kemampuan sebenarnya.
“Itu karena ada standar yang tinggi dalam UN, sehingga murid dan pihak tertentu terpaksa curang karena standar yang dimiliki tiap murid berbeda,” kata dia ketika dikonfirmasi Republika.co.id, Jumat (13/12).
Oleh sebab itu, dia menilai, dengan adanya metode penggantian UN, diharapkan kecurangan itu bisa hilang.
Arief melanjutkan, dalam 10 tahun terakhir pengamatannya, ada kecenderungan untuk menjadikan UN sebagai standar. Dengan alasan tersebut, berbagai kecurangan dilakukan beberapa pihak untuk menutupi standarnya yang dirasa kurang baik. “Kadang-kadang guru, kadang sekolah juga yang memberikan bocoran,” tuturnya.
Ketika ditanya terkait format baru, yang mencakup bernalar, matematika dan penguatan karakter, ia mendukung hal tersebut. Pasalnya, dengan adanya hal tersebut, akan mendorong proses pembelajaran siswa. “Jadi kemampuan bernalar itu tergantung proses pembelajaran, ada banyak faktor, dari menghafal hingga membuat interpretasi,” katanya.
Dengan memfokuskan pekerjaan tersebut pada otak. Ia berharap, pembelajaran atau kemampuan siswa tidak hanya bertumpu pada otak kiri saja, akan tetapi otak kanan yang dirasa masih kurang dirangsang di sekolah.
“Ketahuan dari mana? karena keterampilan dan keberanian bertanya yang ada di otak kanan belum terlihat. Kalau anak banyak bertanya dan penuh kreativitas, berarti anak itu nalarnya jalan,” kata dia.
Arief juga menyayangkan, sebanyak 2,7 juta guru di seluruh Indonesia, mayoritas masih dirasa mendongkrak kemampuan otak kiri saja terhadap 51 juta pelajar Indonesia.
Menurutnya, asesmen terkait nalar dan karakter memang sudah seharusnya cepat dimulai. Sebab, hal tersebut yang membantu kemampuan otak kanan dan kiri murid untuk didongkrak.
Sedangkan untuk penilaian, ia setuju jika sekolah yang memutuskan. Hal tersebut dikarenakan, setiap sekolah memiliki perbedaan, termasuk setiap siswa/I nya. Bahkan, hal tersebut juga dirasa sangat baik untuk kelancaran jenjang sd hingga sma.
“Baru, kalau dia melanjutkan kuliah, biarkan PT mengadakan evaluasi, jadi anak sma berapapun nilainya, kalau masuk ITB, dia harus menyesuaikan kemampuannya dengan ITB,” ungkap dia.