REPUBLIKA.CO.ID, oleh Arif Satrio Nugroho
Pemerintah mulai bersiap dalam menerapkan tatanan normal baru atau new normal dalam menjalani kehidupan bermasyarakat di tengah pandemi Covid-19. Namun, basis data yang menjadi dasar keluarnya kebijakan tersebut dipertanyakan.
Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (UI) Pandu Riono mengaku kerap berkorespondensi dengan sejumlah pejabat publik pembuat kebijakan terkait Covid-19. Ia menyebut, ada berbagai permasalahan data hingga variabel pendataan yang terlewatkan dalam data yang dipakai Gugus Tugas.
"Berantakan, sampai sekarang juga berantakan. Ngurusin data menghimpun data, padahal datanya garbage (sampah) semua, kalau dikumpulkan, itu jadi ngumpulin data garbage (sampah)," ujar Pandu dalam diskusi yang digelar oleh Departemen Manajemen dan Kebijakan Publik UGM, Indonesian Assosiacion for Public Administration (IAPA) dan Policylab, Rabu (27/5).
Pandu menyebut, validitas data yang dikumpulkan pemerintah sendiri menimbulkan banyak pertanyaan. Sebagai salah satu contoh, ia menyoroti indikator-indikator data yang kerap tak dimunculkan dalam pendataan pandemi Covid-19 di Indonesia ini.
"Kalau (data) tidak pernah dipakai untuk analisis atau pengambilan keputusan, ya enggak tahu itu, atau dibiarkan diasumsikan datanya akurat. Bagaimana bisa menghitung data untuk mengeluarkan kebijakan kalau data tidak akurat. Berbahaya sekali," ujar dia.
Maka itu, Pandu yang sejak awal munculnya Pandemi Covid-19 di dunia telah melakukan pemetaan, mendorong pemerintah agar memperbaiki data yang dikumpulkan. Dengan demikian, data yang lebih baik bisa digunakan untuk mengeluarkan kebijakan.
"Bagaimanapun kebijakan publik itu harus mengandalkan data," kata dia.
Senada, Co-Inisiator Penghimpun data bentukan masyarakat sipil Laporcovid19.org, Irma Hidayana juga mempertanyakan basis data yang dipakai pemerintah sehingga skema kebijakan normal baru itu keluar. Pasalnya, kenaikan kasus masih terus terjadi di Indonesia.
"New normal ini mau dinormalkan sebenarnya tidak apa apa apabila kita memiliki data basis kebijakan tersebut. Yang simpel saja, bisa mengikuti anjuran WHO yang memilki kriteria pelonggaran lockdown. Meskipun itu untuk lockdown sebenarnya," ujar Irma.
Irma menilai, pelonggaran yang akan dilakukan pemerintah pusat masih belum berdasarkan data yang selama ini dimiliki pemerintah kabupaten, kota provinsi di Indonesia. Terlebih, Laporcovid19.org juga masih menjumpai disparitas data, misalnya dalam hal kematian. Jumlah korban meninggal dengan status ODP maupun PDP ternyata lebih tinggi tiga kali lipat dari jumlah meninggal yang dinyatakan positif.
"Karena pertambahan jumlah kasus, terutama angka yang meninggal terutama yang under reporting tadi, mereka yang meninggal sebelum mendapatkan PCR harus ditelusuri lagi sebelum membebaskan orang beraktivitas," papar Irma.
Deputi II Kantor Staf Presiden Abetnego Tarigan mengatakan, data utama yang dipakai pemerintah memang data Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 pimpinan Doni Monardo. "Data apa yang dipakai, memang sejauh ini di laporan gugus tugas yang banyak dipakai itu memang data gugus tugas itu," kata dia.
Terlepas dari pertanyaan validitas data Gugus Tugas sebagai pijakan pembuatan kebijakan, Abetnego mengklaim pemerintah terus berupaya memperbaiki data tersebut. Di samping itu, seiring diterapkannya new normal, ia menyebut kapasitas tes dan kemampuan dalam penanganan Covid-19 juga terus ditingkatkan.
"Kalau dilihat dari policy besarnya, jumlah tes itu akan terus didorong untuk dinaikkan," kata dia.
Lebih lanjut, Abetnego mengakui belum terintegrasi tata kelola data antara pusat dan daerah. "Memang ada kenyataan itu. Ini menyebabkan data menjadi isu dan masalah termasuk kewenangan, hingga sistem pelaporan," ujarnya.
Ia membantah tudingan yang sempat muncul bahwa pemerintah tidak transparan dalam mengolah data. Namun, kata dia, yang menjadi masalah adalah itu sistem data yang dijalankan pemerintah.
Diakui Abetnego, kasus Covid-19 ini membongkar bahwa sistem data terkait kesehatan tidak terurus dengan baik dalam waktu yang cukup lama.
"Itulah kenyataannya bahwa memang sistem data kesehatan kita punya persoalan yang harua dibereskan. Misalnya hari ini presiden memastikan seluruh data harus diintegrasikan," ujar dia.
Atas dasar itu, Abetnego juga mengakui perlunya pembenahan sistem data yang dijalankan pemerintah Indonesia. Pembenahan itu mulai dari kesiapan dan kapasitas sistem itu sendiri.
Akademisi dari Centre for Innovation Policy and Governance (CIPG) Yanuar Nugroho menyebut, perkara kebijakan yang tak berbasis data ini akan berulang terus jika pemerintah tak membangun kapasitas dan kapabilitas. Dalam hal ini, Yanuar menuntut peran akademisi yang termasuk sebagai birokrat pembuat kebijakan untuk berperan.
"Jadi penting membangun kapasitas negara, karena evidence based policy itu state capacity-nya Harus dibangun. Apakah belum terbangun? saat ini belum," kata dia.
Per Rabu (27/5), Gugus Tugas menyebutkan bahwa penambahan jumlah kasus positif bertambah sebanyak 686 orang dari hari sebelumnya, sehingga total menjadi 23.851 kasus positif. Sebanyak 410 kabupaten/kota dari 34 provinsi di Indonesia telah mengonfirmasi adanya kasus Covid-19.