REPUBLIKA.CO.ID, oleh Nawir Arsyad Akbar, Antara
Sistem Dukcapil dan Imigrasi di Indonesia benar-benar kebobolan oleh aksi buron Djoko Soegiarto Tjandra. Setelah berhasil membuat KTP-el di Kelurahan Grogol Selatan, Djoko diketahui juga sukses membuat paspor.
Meski tidak menjelaskan di Kantor Imigrasi mana Djoko membuat paspor, Direktur Jenderal Imigrasi Kemenkumham Jhoni Ginting menjelaskan, paspor Djoko Tjandra diurus pada 22 Juni 2020 dan jadi pada 23 Juni 2020. Jhoni menyebut Djoko mengurus sendiri pembuatan paspor itu.
Dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi III DPR, hari ini, Jhoni Ginting mengakui kesalahan terkait lolosnya Djoko yang bisa membuat paspor meski berstatus buron. Namun, ia mengungkapkan, paspor Indonesia yang dimiliki Djoko telah memenuhi persyaratan yang ada.
"Persyaratan membuat paspor yang utama adalah KTP. Dia memiliki KTP dan ada paspor lamanya 2007, dan berakhir 2012," ujar Jhoni dalam rapat, Senin (13/7).
Jhoni menjelaskan, saat membuat paspor lama, Djoko Tjadra menggunakan paspor lamanya. Namun, menurut Jhoni, nama Djoko tidak adalah dalam sistem keimigrasian sebagai orang yang bermasalah.
"Ini tidak termasuk dalam cegah waktu saat itu. Jadi namanya tidak ada, dalam sistem tidak ada," ujar Jhoni.
Pihak Imigrasi kemudian menarik kembali paspor Djoko Tjandra pada 27 Juni setelah menerima surat dari Kejaksaan Agung (Kejakgung). Paspor kemudian dikembalikan via pos.
Imigrasi mencatat Djoko mengurus langsung paspornya, namun saat pengambilan diwakilkan atau menggunakan surat kuasa. Saat penarikan kembali, paspor tersebut dikirimkan via pos.
Menurut Jhoni, berdasarkan paspor yang sudah dikembalikan itu, diketahui Djoko belum pernah dipakai untuk bepergian ke luar negeri. Artinya, Djoko belum keluar dari Indonesia melalui perlintasan resmi imigrasi.
"Karena paspor yang dikeluarkan, dikembalikan enggak dicap, enggak dicap yang ditarik itu. Kami tarik, melalui pengacara dikirim. Ini enggak dicap. Berarti dia enggak ada di perlintasan formal kami," kata Jhoni.
Jhoni mengakui adanya sejumlah kelemahan di lembanya. Hal itulah yang kemungkinan dimanfaatkan Djoko Sugiarto Tjandra untuk masuk ke Indonesia.
"Dia tahu kelemahan kita, dia main di kelemahan kita itu. Kami menyadari itu," ujar Jhoni.
Soal suksesnya Djoko membuat paspor, Jhoni berdalih, petugas pembuatan paspor saat itu masih muda, sehingga tak mengetahui siapa itu Djoko Tjandra.
"Bukan membela lagi, tidak. Kalau kami disalahkan, kami disalahkan, kami menerima. Karena dia (petugas) masih umur 23 tahun, dia baru lulus, dia tidak kenal dengan Djoko Tjandra," ujar Jhoni.
Anggota Komisi III DPR Fraksi Partai Nasdem Taufik Basari mengatakan, lolosnya Djoko Tjandra menjadi tamparan bagi aparat penegak hukum Indonesia. Khususnya, setelah dengan mudahnya ia memperoleh KTP elektronik dan paspor.
Taufik menilai, adanya oknum-oknum lain yang terlibat atas lolosnya Djoko Tjandra. Karena, seorang buron tentu tak mudah untuk mendapatkan KTP elektronik dan paspor.
"Ini harus dibongkar, ada di mana-mana termasuk membantu keluar Djoko pada 2009 dan masuk ke Indonesia, termasuk urus paspor karena dibantu," ujar Taufik.
Permasalahan ini harus menjadi perhatian bagi Ditjen Imigrasi. Sebab bukan tak mungkin, hal serupa akan digunakan buronan lain untuk ke Indonesia.
"Saya harap tetap ini jadi perhatian oenting, kalau Dkoko bisa masuk Indonesia terlepas jalur remsi atau tikus, ini berbahaya," ujar pria yang akrab disapa Tobas itu.
Anggota Komisi III DPR Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) Sarifuddin Sudding menilai adanya skenario terkait lolosnya Djoko Tjandra. Sebab, seorang warga negara asing yang buron seharusnya terdeteksi oleh pihak keimigrasian.
"Anehnya, seorang warga negara asing yang juga sebagai penjahat terhadap putusan hukum tetap, bisa masuk dan lolos tanpa terdeteksi oleh pihak imigrasi," ujar Sudding.
Sebelumnya, pengacara Andi Putra Kusuma selaku kuasa hukum Djoko Sugiarto Tjandra menyatakan, sejak 2012 Djoko Tjandra sudah tidak tercatat sebagai DPO berdasarkan keterangan dari Kementerian Hukum dan HAM. Status DPO kembali disematkan kepada Djoko oleh Imigrasi pada tanggal 27 Juni 2020, begitu juga dengan daftar merah pemberitahuan (red notice) Interpol dan pencekalan.
"Sebelumnya dari 2014 enggak ada (status). Karena permohonan jaksa kan dari berlaku enam bulan. Permohonan terakhir dari jaksa itu diajukan pada tanggal 29 Maret 2012," kata Andi.
Menurut Andi, Kemenkumham juga sudah menghapus nama Djoko Tjandra dari sistem perlintasan pada Mei 2020.
"Artinya, kalau Pak Djoko masuk ke Indonesia tanggal 8 Juni tidak ada pencegahan. Jadi dari mana saya menyeludupkan sedangkan untuk bisa ke pengadilan ini kan baris depannya pemerintah banyak banget, ada imigrasi dari kepolisian itu semua dilewati sebelum sampai di sini," kata Andi.
Djoko Tjandra, adalah salah satu buron korupsi yang paling dicari oleh otoritas hukum di Indonesia. Kejakgung memasukkan namanya menjadi buronan setelah Mahkamah Agung (MA) 2009, memvonisnya bersalah dalam kasus cessie Bank Bali yang merugikan negara senilai Rp 904 miliar.
MA menghukumnya selama 2 tahun penjara. Namun sehari sebelum putusan MA, Djoko Tjandra kabur ke Papua Nugini.
Pada Juni 2020, Djoko Tjandra dikabarkan sudah kembali di Indonesia. Ia pun mengajukan PK atas kasusnya ke PN Jakarta Selatan. Persidangan PK, seharusnya dimulai pada 29 Juni lalu, dan Senin (6/7). Akan tetapi, dua kali persidangan, Djoko Tjandra tak hadir dalam persidangan.