REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar hukum Universitas Indonesia (UI), Topo Santoso mengatakan, putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta yang menyatakan batal atau tidak sah keputusan presiden (Keppres) tentang pemberhentian Evi Novida Ginting Manik dari anggota KPU RI, juga mengoreksi putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).
"PTUN merupakan koreksi terhadap putusan DKPP. Meskipun putusan mengoreksi Keputusan Presiden, mengikat terhadap keputusan presiden," ujar Topo dalam diskusi virtual, Sabtu (25/7).
DKPP memberhentikan tetap Evi melalui putusan nomor 317-PKE-DKPP/X/2020 pada 18 Maret 2020 terkait perolehan suara di daerah pemilihan (dapil) Kalimantan Barat 6 untuk Partai Gerindra atas nama Hendri M (pengadu). DKPP kemudian memerintahkan presiden menindaklanjuti putusan DKPP untuk memecat Evi.
Selanjutnya, pada 23 Maret, presiden mengeluarkan surat Keppres Nomor 34/P Tahun 2020 tentang pemberhentian dengan tidak hormat Evi dari anggota KPU RI masa jabatan 2017-2022. Akan tetapi, Evi justru menempuh upaya hukum dengan mengajukan gugatan terhadap Keppres tersebut ke PTUN.
Menurut Topo, sejumlah keputusan KPU baik KPU RI maupun KPU Daerah yang memberhentikan jajarannya sebagai tindak lanjut putusan DKPP juga menjadi objek gugatan di PTUN. Pengajuan gugatan tersebut ke PTUN memang dapat dilakukan berdasarkan putusan Mahkamah Konsitusi (MK) Nomor 31 Tahun 2013.
Dia menjelaskan, MK menyatakan putusan DKPP bersifat final dan mengikat bagi presiden, KPU RI, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, maupun Bawaslu. Tindak lanjut putusan DKPP yang dilakukan presiden, KPU, dan Bawaslu adalah keputusan pejabat tata usaha negara yang melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan perundang-undangan yang bersifat individual, konkret, dan final.
Karena itu, hanya keputusan presiden, KPU, dan Bawaslu tersebut yang dapat menjadi objek gugatan di PTUN. Dengan demikian, bagi individu yang merasa keputusan pejabat negara itu tidak sesuai prosedur hukum administrasi dapat melayangkan gugatan ke PTUN.
Di sisi lain, menurut Topo, dalam perkara Evi ini, tidak terjadi pelanggaran kode etik karena jajaran KPU menetapkan hasil pemilihan legislatif sesuai putusan MK soal perselisihan hasil pemilu. Secara prosedural, beberapa proses hukum penyelesaian perkara dugaan pelanggaran kode etik di DKPP bermasalah.
"Secara prosedural bermasalah proses di DKPP. Misalnya, di sidang pertama pengadu sudah mencabut aduannya, harusnya sudah selesai perkara itu dan dianggap tidak ada persoalan. Juga tidak dihadiri teradu (Evi) karena sedang sakit," kata Topo.