REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar hukum dari Universitas Borobudur, Faisal Santiago menjelaskan potensi kontroversi dalam Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Undang-Undang Kejaksaan Nomor 16 Tahun 2004 (RUU Kejaksaan). Ia menilai kontroversi muncul karena adanya kewenangan super body yang dimiliki Jaksa dalam penegakan hukum.
"Saya melihat ada poin-poin yang bisa menjadi perdebatan. Saya perhatikan, RUU Kejaksaan ini lebih ingin menjadikan Kejaksaan ingin menjadi lembaga super bodi dalam penegakan hukum," kata Faisal kepada wartawan pada Rabu (30/9).
Faisal mencontohkan pasal tentang perlindungan dan jaminan keamanan Jaksa. Dalam Pasal 8A ayat (1) draf RUU Kejaksaan menyatakan: 'Dalam menjalankan tugasnya, Jaksa beserta anggota keluarganya wajib mendapatkan pelindungan diri dan pelindungan dari Negara dari ancaman yang membahayakan diri, jiwa, dan/atau harta benda.'
Menurut Faisal, sebetulnya dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sudah jelas dikatakan, semua warga negara berhak mendapatkan perlindungan dan persamaan di mata hukum (equality before the law). "Artinya, jaksa juga sama. Kalau ada perbuatan menyimpang dari hukum, wajib pula mendapat sanksi hukum," katanya.
Lebih lanjut, RUU Kejaksaan juga memberikan kewenangan penyadapan kepada Jaksa dalam keterlibatannya pada pengawasan ketertiban umum (pasal 30 ayat (5) huruf g). Menurut Faisal, itu mengingatkannya pada wilayah kewenangan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Selanjutnya, kontroversi juga terdapat dalam pasal 35 huruf c draf RUU Kejaksaan memberi kewenangan mendelegasikan perkara yang dikesampingkan kepada Penuntut Umum. Menurut Faisal, perdebatan itu bisa muncul karena publik menilai adanya kekuatan dari atasan untuk mengesampingkan suatu perkara kepada bawahan.
Apalagi, pemeriksaan terhadap Jaksa, baik sebagai saksi maupun tersangka serta tidak dapatnya dilakukan penegakan hukum perdata maupun pidana, semua harus seizin Jaksa Agung.
"Ini juga menandakan JA mempunyai power yang berlebihan," kata Faisal.
Dalam Pasal 8 ayat (5) Undang-Undang Kejaksaan Nomor 16 Tahun 2004 (UU Existing), disebutkan bahwa Jaksa yang diduga melakukan tindak pidana maka pemanggilan, pemeriksaan, penggeledahan, penangkapan dan penahanan terhadap jaksa yang bersangkutan hanya dapat dilakukan atas izin Jaksa Agung.
Sementara, Pasal 8 ayat (5) RUU Kejaksaan disebutkan bahwa dalam hal melaksanakan tugas dan wewenangnya, pemanggilan, pemeriksaan, penggeledahan, penangkapan, penahanan Jaksa hanya dilakukan atas izin Jaksa Agung.