Senin 18 Jan 2021 14:34 WIB

Ekstremis Kanan AS Pindah Media Sosial

Facebook dan Twitter menutup akun-akun ekstremis sayap kanan AS

Rep: Lintar Satria/ Red: Christiyaningsih
Facebook (ilustrasi)
Foto: REUTERS
Facebook (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Beberapa hari usai penyerbuan pendukung Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump ke Capitol Hill, Facebook dan Twitter menutup akun-akun ekstremis sayap kanan AS. Akun-akun itu ditutup karena melanggar peraturan mereka mengenai kekerasan dan ujaran kebencian.

Senin (18/1) ketua milisi bersenjata asal Negara Bagian Georgia, pemimpin III% Security Force, Chris Hill mengatakan 8 Januari lalu situs organisasinya ditutup penyedia layanan hosting GoDaddy. Situs itu dianggap menyalahi aturan GoDaddy.

Baca Juga

Juru bicara GoDaddy mengatakan situs III% dihapus karena konten yang 'mempromosikan dan mendorong kekerasan'. Hill mengatakan alasan tersebut 'menggelikan'. Langkah Facebook, Twitter, dan GoDaddy mendorong ekstremis sayap kanan pindah ke platform lain.

Ketua kelompok sayap kanan Proud Boys, Enrique Tarrio, menyambut pengguna baru Telegram 'ke bagian paling gelap situs' tersebut. Ia mengunggah penjelasan mengenai pengepungan Capitol Hill dan tautan ke saluran Proud Boys lain di Telegram.  

Kamis (15/1) lalu media sosial yang populer di kalangan sayap kanan AS, Gap.com mengatakan pekan lalu jumlah pengguna mereka bertambah 2,3 juta. Di tengah imigrasi media sosial ini, pesan-pesan sayap-kanan di ruang-ruang percakapan daring mengenai unjuk rasa selama pelantikan Presiden terpilih Joe Biden saling bertentangan.

Selama berpekan-pekan tersebar undangan digital untuk menggelar unjuk rasa di Washington dan ibu kota negara bagian lainnya selama pelantikan Biden. Undangan digital itu mendorong badan penyidik AS (FBI) memperingatkan potensi kekerasan selama pelantikan.

Namun sejumlah kelompok sayap kanan memperingatkan untuk tidak melakukan unjuk rasa semacam itu. Tanpa memberikan bukti, kelompok tersebut mengatakan undangan itu jebakan dari penegak hukum untuk menekan hak kepemilikan senjata.

Direktur eksekutif Institute for Research and Education on Human Rights, Devin Burghart, mengatakan hampir semua rencana unjuk rasa selama pelantikan presiden yang kelompoknya pantau telah dibatalkan atau disembunyikan. Institute for Research and Education on Human Rights merupakan lembaga pemantau kelompok ekstremis.

"Mereka mengatakan kami masih menerima banyak laporan anekdotal dari individu yang terlibat dalam pemberontakan 6 Januari lalu akan kembali ke Washington D.C pada 20 Januari," katanya.

sumber : Reuters
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement