Jumat 02 Apr 2021 20:28 WIB

Kasus BLBI Disetop, ICW: Efek Buruk Revisi UU KPK

Menurut ICW, penghentian kasus BLBI oleh KPK semakin menguntungkan pelaku korupsi.

Rep: Dian Fath Risalah/ Red: Andri Saubani
Peneliti ICW, Kurnia Ramadhana jelaskan
Foto: Republika TV/Havid Al Vizki
Peneliti ICW, Kurnia Ramadhana jelaskan

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menghentikan penyidikan terhadap kasus bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Lembaga antirasuah itu beralasan bahwa mereka tidak bisa memenuhi syarat adanya tindak pidana korupsi terkait penyelenggara negara dalam dugaan tindak pidana korupsi atas penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) obligor Bantuan Likuiditas Bank Indonesia dengan tersangka Sjamsul Nursalim dan Itjih Nursalim.

Menanggapi keputusan KPK, Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai penghentian penyidikan merupakan  efek buruk dari berlakunya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 semakin menguntungkan pelaku korupsi secara perlahan dan pasti. Peneliti ICW Kurnia Ramadhana mengatakan, tidak bisa dipungkiri, selain karena dampak revisi UU KPK, pangkal persoalan lain penghentian penyidikan ini juga berkaitan langsung dengan Mahkamah Agung dan kebijakan Komisioner KPK.

Baca Juga

"Untuk MA sendiri, kritik dapat disematkan tatkala lembaga kekuasaan kehakiman itu memutus lepas Syafruddin Arsyad Tumenggung (SAT, mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional) dan kemudian diikuti penolakan permohonan Peninjauan Kembali (PK) dari KPK, " kata Kurnia dalam keterengan yang diterima Republika, Jumat (2/4).

Patut untuk dicatat, putusan lepas yang dijatuhkan MA terhadap SAT jelas keliru dan diwarnai dengan kontroversi. Betapa tidak, kesimpulan majelis hakim kala itu justru menyebutkan bahwa perkara yang menjerat SAT bukan merupakan perbuatan pidana.

Padahal, dalam fakta persidangan pada tingkat judex factie sudah secara terang benderang menjatuhkan hukuman penjara belasan tahun kepada terdakwa. Lebih jauh lagi, perdebatan perihal pidana atau perdata seharusnya sudah selesai tatkala permohonan praperadilan SAT ditolak oleh Pengadilan Negeri.

Sebab, waktu mengajukan permohonan praperadilan, SAT melalui kuasa hukumnya juga membawa argumentasi yang sama.

Selain itu, MA juga gagal dalam melihat kemungkinan menerima PK dari penuntut umum di tengah kejanggalan putusan kasasi tersebut.

Selain sudah banyak preseden yang menerima PK dari penuntut umum, juga terdapat satu isu krusial, yakni pelanggaran etik oleh salah satu majelis hakim persidangan Tumenggung, Syamsu Rakan Chaniago.

"Dapat dibayangkan, dua pekan sebelum putusan lepas itu dibacakan, Hakim majelis itu justru berhubungan, bahkan bertemu langsung dengan kuasa hukum Tumenggung, yakni Ahmad Yani," kata Kurnia.

Padahal seorang hakim tidak dibenarkan untuk berhubungan langsung atau tidak langsung dengan pihak-pihak yang sedang berperkara. Kemudian, untuk SP3 kepada Sjamsul dan Itjih sendiri mesti dilihat bahwa tiap pelaku melakukan tindakan berbeda satu sama lain.

ICW memandang, perbuatan melawan hukum Tumenggung lebih menitikberatkan pada tindakan yang bersangkutan saat mengeluarkan SKL terhadap obligor BLBI. Sedangkan Nursalim sendiri karena menjaminkan aset yang seolah-olah senilai Rp 4,8 triliun, akan tetapi setelah dilakukan penjualan tahun 2007 hanya bernilai Rp 220 miliar.

"Lagi pun, hingga saat ini KPK juga belum berhasil mendeteksi atau pun menangkap Nursalim," kata Kurnia.

Semestinya, lanjutnya, KPK terlebih dahulu mendapatkan keterangan dari Sjamsul atau pun Itjih untuk kemudian melihat kemungkinan meneruskan penanganan perkara ini. Sehingga, dapat disimpulkan keputusan untuk mengeluarkan SP3 ini terlalu dini dan terkesan hanya ingin melindungi kepentingan pelaku.

"Namun, daripada itu, penting untuk ditekankan bahwa penghentian ini bukan berarti menutup kemungkinan untuk menjerat Nursalim kembali pada waktu mendatang. Sebab, Pasal 40 ayat (4) UU KPK menjelaskan bahwa SP3 dapat dicabut tatkala ditemukan adanya bukti baru dan putusan praperadilan," tegas Kurnia.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement