Kemudian, faktor terakhir atau keempat adalah kesadaran masyarakat. Namun, ia menilai sebenarnya masyarakat tidak bisa melakukan apa-apa. Ini terbukti masyarakat yang sering menerima tawaran atau promosi jasa keuangan. Ia menjelaskan, pemilk jasa keuangan bisa mengetahui nomor karena membeli data dari orang yang mengumpulkan nomor pribadi milik masyarakat.
"Jadi, setelah RUU PDP disahkan nanti ternyata jika salah satu dari empat faktor itu tidak berjalan, misalnya aparatnya tidak baik maka UU tersebut tidak berjalan. Wong tujuh UU yang sudah ada sebelumnya saja tidak jalan," ujarnya.
Jika data pribadi masih bobol, dia melanjutkan, pemilik data akan menjadi korban. Ia menyontohkan orang itu bisa menjadi target ekonomi yang dikuras data rekeningnya, kemudian datanya dipalsukan, atau datanya diaalahgunakan untuk mengajukan aplikasi pinjaman dan membeli sesuatu maka tentu pemilik data bisa menjadi korban ekonomi.
"Gilanya lagi, pihak yang berkaitan atau menerima aplikasi itu kan tidak mau tahu. Kita sering kan mendengar pegawai negeri atau karyawan kecil yang memiliki uang di bank tiba-tiba habis tanpa dia tahu," ujarnya.
Namun, dia melanjutkan, pemilik data tidak bisa berbuat apa-apa karena sudah menyerahkan data itu kepada instansi yang membutuhkan data pribadinya. Sayangnya, dia melanjutkan, banyak instansi yang tidak protektif maksimal melindungi data-data orang-orang atau masyarakat yang telah mempercayakan datanya kepada instansi tersebut.
Sebelumnya akun media sosial Twitter Pusat Penerangan PKI @Puspen_PKI memposting cicitan soal kebocoran data. "Percuma kalian mau jaga data seketat apa juga, orng dibagi2in kok. sama pemerintahnya. Ad di google fileny."Kemudian di cicitan berikutnya ia mengatakan kartu identitas presiden Joko Widodo juga beredar.
"NIK-ny Jokowi juga beredar di internet."