Senin 01 Nov 2021 07:25 WIB

Ada Rp 23 Triliun Uang Berputar di Bisnis PCR

Hentikan segala upaya untuk mengakomodir kepentingan bisnis PCR.

Red: Agus Yulianto
Petugas kesehatan melakukan tes usap PCR di Jakarta.
Foto:

Gratiskan pemeriksaan PCR 

Koalisi menilai, penurunan harga jasa pelayanan pemeriksaan PCR oleh Pemerintah tidak mencerminkan asas transparansi dan akuntabilitas. Kebijakan tersebut diduga hanya untuk mengakomodir kepentingan kelompok tertentu yang memiliki bisnis alat kesehatan, khususnya ketika PCR dijadikan syarat untuk seluruh moda transportasi.

Ketentuan mengenai harga pemeriksaan PCR setidaknya telah berubah sebanyak empat kali. Pada saat awal pandemi muncul, harga PCR belum dikontrol oleh Pemerintah sehingga harganya sangat tinggi, bahkan mencapai Rp 2,5 juta.

Kemudian pada Oktober 2020 Pemerintah baru mengontrol harga tersebut PCR menjadi Rp 900 ribu. 10 bulan kemudian harga PCR kembali turun menjadi Rp 495 ribu-Rp 525 ribu akibat kritikan dari masyarakat yang membandingkan biaya di Indonesia dengan di India. Terakhir, 27 Oktober lalu Pemerintah menurunkan harga menjadi Rp 275 ribu-Rp 300 ribu.

Koalisi memandang, pemerintah tidak menggunakan prinsip kedaruratan kesehatan masyarakat dan mementingkan kepentingan kelompok bisnis tertentu. Terlebih, penurunan terakhir (27/10) ini, terkesan hanya untuk menggenjot mobilitas masyarakat.

"Kami melihat bahwa penurunan harga ini seharusnya dapat dilakukan ketika gelombang kedua melanda, sehingga warga tidak kesulitan mendapatkan hak atas kesehatannya. Penurunan harga PCR untuk kebutuhan mobilitas juga mencerminkan bahwa kebijakan ini tidak dilandasi asas kesehatan masyarakat, namun pemulihan ekonomi," tegas Amanda Tan.

Pemerintah mengeluarkan aturan wajiban tes polymerase chain reaction (PCR) dan vaksin untuk penerbangan pesawat keluar masuk Jawa Bali. Wakil Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) DPR Sukamta menyebut, kebijakan ini lebih kuat muatan bisnisnya daripada tujuan kesehatan.

"Kebijakan ini aneh dan terlalu jelas motifnya. Data Direktorat Bea dan Cukai Kementerian Keuangan mencatat nilai impor alat tes PCR hingga 23 Oktober 2021 mencapai Rp2,27 triliun," ujar Sukamta lewat keterangan tertulisnya, belum lama ini.

Sukamta kemudian menampilkan data bahwa perusahaan swasta yang paling banyak menikmati bisnis tersebut. Pertama, negara eksportir. Menurut data BPS, impor reagent untuk tes PCR pada periode Januari-Agustus 2021 mencapai 4.315.634 kg (4.315 ton) dengan nilai 516,09 juta dolar AS atau setara Rp7,3 triliun.  

Baca juga : Aturan PCR Penumpang Pesawat yang Terus Bergonta-Ganti

China dan Korea menjadi negara eksportir terbesar senilai masing masing USD 174 jt dollar dan USD 181 jt dollar. Kemudian disusul Amerika Serikat sebesar USD 45 jt dollar dan Jerman USD 33 jt dollar.

Kedua adalah perusahaan importir swasta dalam negeri. Data Bea dan Cukai, perusahaan swasta adalah entitas yang mendominasi kegiatan impor PCR mencapai 88,16 persen, lembaga non profit hanya 6,04 persen, dan pemerintah 5,81 persen.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement