Jumat 05 Nov 2021 18:24 WIB

Banjir di Batu, Bak Respons Alam untuk Kicauan Siti Nurbaya

Banjir di Batu, Malang terjadi sehari setelah cuitan Menteri LHK soal deforestasi.

Red: Andri Saubani
Seorang warga mengamati rumahnya yang rusak akibat banjir bandang di Bulukerto, Kota Batu, Jawa Timur, Jumat (5/11/2021). Berdasarkan laporan sementara dari BPBD Kota Batu hingga hari kedua pencarian korban banjir bandang, tim SAR berhasil menemukan enam jenazah korban dan tiga korban masih dalam proses pencarian.
Foto:

Melalui akun resminya, Profauna Indonesia menyatakan bahwa penyebab banjir bandang di Kota Batu, selain karena faktor curah hujan juga diduga kuat akibat dari alih fungsi hutan lindung di lereng Gunung Arjuna yang menjadi kebun sayur. Pada Jumat (5/11), tim Profauna bersama Perhutani KPH Malang terjung langsung ke lokaji banjir bandang di Batu.

Berdasarkan hasil penelusuran titik awal terjadinya banjir, yakni di dalam hutan arah Gunung Arjuna, Profauna berkesimpulan, ada tiga penyebab utama banjir tersebut. "Yakni curah hujan yang cukup tinggi, kayu-kayu bekas kebakaran hutan yang roboh yang menghalangi aliran air dan perkebunan sayur yang ditanam di kawasan hutan di lereng Gunung Arjuna," demikian keterangan Profauna, Jumat.

Adapun, Greenpeace Indonesia menegaskan, banjir bandang di Kota Batu adalah salah satu dampak dari krisis iklim. Intensitas hujan yang tinggi adalah salah satu bentuk dari cuaca ekstrem akibat perubahan iklim di Bumi. Manusia bisa mencegah krisis iklim menjadi lebih buruk dengan cara melindungi hutan dan lingkungan.

Selain menyinggung krisis iklim dan dampaknya menjadi banjir di Batu, Greenpeace Indonesia, lewat akun Instagram-nya juga menyoroti unggahan Menteri Lingkungan Hidup Siti Nurbaya pada Rabu (3/11), sehari setelah Presiden Joko Widodo (Jokowi) menandatangani komitmen mengakhiri deforestasi dan degradasi lahan 2030 dalam The Glasgo Leader Declaration on Forest and Land Use.

Dalam cicitan Siti Nurbaya yang kemudian viral dan sempat menjadi trending di Twitter itu, Menteri Lingkungan Hidup menyebut, pembangunan besar-besaran era Presiden Jokowi tidak boleh berhenti atas nama emisi karbon atau atas nama deforestasi.

"Ini pernyataan yang mengecewakan," tulis Greenpeace Indonesia, Kamis (4/11).

 
 
 
View this post on Instagram
 
 
 

A post shared by Greenpeace Indonesia (@greenpeaceid)

 

Sebelumnya, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Iqbal Damanik, Selasa (2/11), mengatakan, salah satu jawaban untuk krisis iklim adalah deforestasi. Namun, lanjut dia, tidak dipastikan dengan jelas apakah para pemimpin dunia termasuk Indonesia di Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) terkait iklim (COP26) di Glasgow, Skotlandia, sepakat untuk target zero deforestation.

Bahkan, Iqbal menyebutkan, di tengah komitmen menekan laju deforestasi, deforestasi di Indonesia justru meningkat dari 2,45 juta hektare (2003-2011) menjadi 4,8 juta hektare (2011-2019). Data KLHK juga menyebutkan, terdapat peningkatan laju deforestasi, dari 1,1 juta hektare per tahun (2009-2013) menjadi 1,47 juta hektare per tahun (2013-2017).

Walaupun ada klaim penurunan laju deforestasi dari pemerintah dalam dua tahun terakhir, angka itu menjadi kurang berarti karena adanya pergeseran area-area terdeforestasi dari wilayah barat ke wilayah timur (Papua). Selama masa kepemimpinan Presiden Jokowi dan Menteri LHK Siti Nurbaya, hasil kajian Greenpeace menyebutkan, pelepasan kawasan hutan di Tanah Papua mencapai 900 ribuan hektare.

Sisanya masih ada sekitar 600 ribuan hektare yang memiliki tutupan hutan alam. Jika kawasan ini pun dideforestasi, Iqbal menyebutkan, ada potensi sumbangan emisi yang lepas sebanyak 71,2 ton.

Menurut Greenpeace Indonesia, penurunan deforestasi dalam rentang 2019-2021 yang diklaim pemerintah itu terjadi karena situasi sosial politik dan pandemi yang membuat aktivitas pembukaan lahan terhambat. Selama hutan alam tersisa masih dibiarkan di dalam konsesi, deforestasi di masa depan akan tetap tinggi.

"Jadi, pada 2050 di dalam dokumen low carbon-nya itu Indonesia masih ada 6,5 juta hektare yang akan terdeforestasi atau sudah di dalam perencanaan atau sudah dalam pelepasan/pemberian izin. Kalau dengan kebijakan yang ada saat ini itu sampai 14,2 juta hektare yang akan terdeforestasi," kata Iqbal menjelaskan.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement