REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --Badan Narkotika Nasional merespons langkah Jaksa Agung ST Burhanuddin yang mengeluarkan Pedoman No.18 Tahun 2021 untuk para penuntut umum sehingga mereka memiliki acuan menangani kasus penyalahgunaan narkotika melalui rehabilitasi. Mereka menilai kebijakan tersebut sangat bagus.
"Kenapa saya katakan sangat bagus karena ini bisa mempermudah proses penegakkan hukum. Dekriminalisasi terhadap pelaku penyalahgunaan atau pengguna yang terlibat. Tinggal mana yang harus dimasukan ketahanan dan tidak biar lebih jelas," kata Kepala Biro Humas dan Protokol BNN, Brigjen Pol Sulistyo Pudjo Hartono, Selasa (9/11).
Sulistyo menuturkan sebelum pedoman itu dikeluarkan, intitusinya membentuk tim asesmen terpadu (TAT). Dia mengatakan pengungkapan terhadap kasus narkoba sering kali tidak jelas, apakah harus direhab atau ditahan.
"Maka muncullah tim asesmen terpadu di situ untuk menentukan apakah orang ini direhab atau orang ini diproses. Waktu itu memiliki fungsi, 1 asesmen hukum, untuk melihat sejauh mana apakah terpapar sabu, heroin, ganja, ekstasi, itu asesmen," kata Sulistyo lagi.
"Ada namanya asesmen hukum di mana untuk melihat apa yang bersangkutan pemakai atau termasuk dalam jaringan sebagai pengedar atau bandar," kata dia.
Sulistyo menegaskan pedoman dari Jaksa Agung itu sangat bagus. Dia berharap langkah itu semakin memperkuat, memperjelas bagaimana hak para tersangka.
Terkait ukuran pecandu atau pengedar, lalu bagaimana proses menentukan mereka direhab atau tidak, ia mengatakan bahwa untuk lembaga pemasyarakatan (lapas) sudah memiliki tim untuk rehab para pecandu. Sedangkan untuk para pecandu yang ditangkap oleh polisi atau BNN, mengikuti proses penyidikan.
"BAP mengeluarkan rekomendasi, BAP yang mengeluarkan BNN itu ada penyidik, dokter untuk menentukan tadi keterpaparannya," katanya.
Sebelumnya, Jaksa Agung ST Burhanuddin mengeluarkan Pedoman No. 18 Tahun 2021 untuk para penuntut umum sehingga mereka memiliki acuan menangani kasus penyalahgunaan narkotika melalui rehabilitasi.
Dengan demikian, pedoman itu diharapkan dapat menjadi salah satu cara mengurangi masalah kelebihan kapasitas di lembaga permasyarakatan, karena jaksa dapat mengoptimalkan opsi hukuman lain, yaitu rehabilitasi.