REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mantan ketua Mahkamah Konstitusi (MK) periode 2013-2015, Hamdan Zoelva mengatakan, putusan MK terkait Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja bermakna strategis. Pasalnya, putusan tersebut akan berpengaruh terhadap pembentukan undang-undang ke depannya.
"Putusan tersebut bermakna sangat strategis bagi proses pembentukan UU ke depan. Putusan inilah pertama sekali dalam sejarah MK mengabulkan permohonan pengujian formil atas suatu UU," ujar Hamdan lewat keterangannya, Sabtu (27/11).
Ke depan, ia mengimbau pemerintah dan DPR tidak membuat undang-undang dengan metode omnibus law. Pasalnya, dalam UU Cipta Kerja bersinggungan dengan regulasi lainnya yang dapat menyebabkan ketidakpastian hukum.
"Pemerintah dan DPR juga tidak boleh lagi melakukan pembentukan UU melalui metode omnibus law campur sari seperti UU Cipta Kerja. Karena metode demikian melahirkan UU yang tidak fokus, tujuan dan filosofisnya tidak jelas yang menimbulkan ketidakpastian hukum," ujar Hamdan.
Pemerintah dan DPR juga dimintanya untuk tidak lagi membahas RUU tanpa melibatkan masyarakat secara luas dan serius. Terutama untuk UU Cipta Kerja, semantara waktu pemerintah tak dapat mengambil kebijakan dengan undang-undang tersebut.
"Bisa dipahami MK memutuskan membatalkan UU Cipta Kerja secara bersyarat dan UU Cipta Kerja berlaku sementara, karena jika langsung dinyatakan tidak berlaku, akan menimbulkan ketidakpastian hukum baru," ujar Hamdan.
Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR, Willy Aditya mengatakan, pihaknya bersama pemerintah berencana menggelar rapat kerja (raker) pada 6 Desember mendatang. Rapat tersebut merupakan tindak lanjut atas putusan MK tersebut.
"Kita akan raker nanti bersama pemerintah tanggal 6 Desember untuk membahas beberapa pokok-pokok, menyimak, mencermati keputusan MK," ujar Willy di Gedung Nusantara, Kompleks Parlemen, Jakarta, Jumat (26/11).
Salah satu hasil raker tersebut akan berpotensi membentuk tim kerja bersama antara DPR dan pemerintah dalam perbaikan UU Cipta Kerja. Baleg dalam fungsi pengawasannya juga mengingatkan pemerintah untuk tidak dulu membuat aturan turunannya hingga perbaikan selesai.
"Jadi DPR tentu akan menjadikan ini catatan, jadi teman-teman ini suatu hal yang wajar saja. Kenapa? karena ini pengalaman pertama kita dalam membuat undang-undang berupa omnibus law," ujar Willy.
Fungsi legislasi buruk
Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus mengatakan, DPR dan pemerintah akan menghadapi pekerjaan rumah besar dalam memperbaiki UU Cipta Kerja. Khusus bagi DPR, putusan MK menjadi bukti buruknya fungsi legislasi yang dijalankan lembaga tersebut.
"Keputusan MK yang memerintahkan revisi atas UU Ciptaker hanyalah bukti semrawutnya pembahasan legislasi di DPR. Nafsu ada kepentingan politik telah membenarkan banyak kekacauan prosedur dalam pembahasan," ujar Lucius saat dihubungi, Sabtu (27/11).