REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Ikatan Alumni Fakultas Hukum Universitas Indonesia (ILUNI FH UI) menyikapi proses penyusunan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS), yang telah ditetapkan sebagai RUU inisiatif DPR pada Rapat Paripurna 18 Januari 2022. ILUNI FH UI mendukung agar RUU TPKS dapat menjawab kebutuhan dan kepentingan korban, terlebih dengan semakin banyaknya perkara kekerasan seksual dengan berbagai modus operandi yang terjadi.
Ketua ILUNI FHUI, Rapin Mudiardjo, menjelaskan secara garis besar, ILUNI FH UI memandang substansi pada RUU TPKS sudah terdapat perkembangan positif dan penyempurnaan. Antara lain dalam hal pengaturan tindak pidana, hukum acara, perlindungan korban, hak-hak korban, dan pencegahan kekerasan seksual.
Menurutnya, beberapa hal yang perlu diapresiasi antara lain penghindaran duplikasi dengan existing laws yang termuat di dalam KUHP dan UU Perlindungan Anak. Sebab RUU TPKS saat ini juga telah mencoba menjawab kebutuhan perlindungan terhadap korban, dan peningkatan kualifikasi dari Aparat Penegak Hukum (APH) dalam menangani perkara kekerasan seksual.
“Sejatinya, UU TPKS menjadi kebutuhan guna menjawab berbagai permasalahan yang dihadapi dalam menangani kasus kekerasan seksual. Akan tetapi, ILUNI FH UI beranggapan bahwa masih terdapat beberapa isu dan hal yang harus diperhatikan dalam upaya perumusan RUU TPKS,” kata Rapin melalui keterangan tertulisnya, Kamis (3/2/2022).
Rapin menyebutkan, beberapa isu yang harus diperhatikan di antaranya terkait mekanisme untuk memperluas cakupan RUU TPKS, agar tidak hanya diberlakukan untuk tindak pidana kekerasan seksual yang terjadi di dalam RUU TPKS. Namun juga dapat menjangkau kekerasan seksual yang ada di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Undang-Undang (UU) Perlindungan Anak, UU Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO), UU Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT), dan pengaturan UU lain yang mengatur pemidanaan kekerasan seksual.
Selain itu, diperlukan mekanisme untuk memberikan jaminan terhadap pembayaran ganti kerugian yang diberikan kepada korban atau keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga (restitusi) terhadap korban kekerasan seksual. “Mengingat banyak sekali korban kekerasan seksual yang tidak mendapatkan ganti kerugian atas proses rehabilitasi untuk kepentingan pemulihan korban,” jelasnya
Terkait pengaturan tindak pidana mengenai kekerasan berbasis gender online (KBGO), Rapin mengatakan, ILUNI FHUI mengapresiasi upaya draf Baleg DPR RI 8 Desember 2021 yang mengakomodir pengaturan tindak pidana pelecehan seksual berbasis elektronik dalam Pasal 5 RUU TPKS. Namun, ia menilai ada pengaturan pada Pasal 27 ayat (1) UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) tentang penyebaran konten pelanggaran kesusilaan, yang justru seringkali digunakan untuk menjerat korban.
Rapin menjelaskan, pengaturan pelecehan seksual berbasis elektronik dalam RUU TPKS harus dibarengi dengan penghapusan Pasal 27 ayat (1) UU ITE yang perlu dimuat dalam ketentuan penutup RUU TPKS. Selain itu, untuk menjamin perlindungan korban yang mengalami KBGO, perlu diatur ketentuan yang dapat menjawab kebutuhan akan adanya tindakan-tindakan yang terjadi di dalam ruang siber terkait dengan sextortion, grooming, dan metode lainnya yang terus berkembang.
“Mengenai pengaturan lain yang terkait dengan tindak pidana, RUU TPKS juga perlu memberikan rumusan pasal yang menjelaskan apa saja tindak pidana dalam UU lain yang dapat diklasifikasikan sebagai kekerasan seksual. Hal ini sangat penting untuk menjamin korban yang kasusnya diproses dengan UU lain, agar dapat memperoleh hak yang komprehensif sebagaimana diatur dalam RUU TPKS ini,” ucapnya.
Terkait substansi hukum acara, Rapin menyampaikan, penting bagi korban kekerasan seksual mendapatkan jaminan hukum acara yang berperspektif korban, termasuk juga keberadaan APH yang sensitif terhadap kebutuhan korban. Hal ini terutama untuk mencegah terjadinya kondisi keberulangan menjadi korban tindak kejahatan terhadap korban kekerasan seksual.
Dengan demikian, kata dia, diperlukan penguatan terhadap implementasi perintah perlindungan sementara bagi korban dan/atau saksi, penggunaan bukti forensik, asesmen psikologis dan akomodasi yang layak bagi saksi dan/atau korban disabilitas, mekanisme perekaman elektronik bagi korban dewasa, serta pertemuan pendahuluan oleh penuntut umum yang tidak hanya dibatasi pada tahap penyidikan, namun juga dalam setiap tahapan proses peradilan.
Berangkat dari rumusan draf Baleg DPR RI 8 Desember 2021, menurut Rapin perlu juga diatur pemulihan dan layanan perlindungan korban yang lebih komprehensif dengan memperkuat peran negara di dalamnya. Serta memastikan kesiapan dan kemampuan sumber daya Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA).
“Untuk itu, kami mendorong agar pembahasan RUU TPKS antara DPR dan Pemerintah dilakukan dengan komprehensif dan mengupayakan agar kualitas substansi RUU TPKS mampu memberikan akses keadilan terhadap korban, serta menjamin perlindungan dan rehabilitasi terhadap korban,” pungkasnya.