REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Legislasi (Baleg) DPR telah menyepakati 15 poin yang akan direvisi dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (PPP). Dalam poin sembilan, ada perubahan di Pasal 73 dengan menambahkan ayat baru.
"Yang mengatur mengenai mekanisme perbaikan teknis oleh Kementerian Sekretariat Negara dalam hal masih terdapat kesalahan ketik setelah RUU yang telah disetujui bersama disampaikan oleh DPR ke Presiden untuk disahkan dan diundangkan," ujar Wakil Ketua Baleg Achmad Baidowi dalam rapat pleno RUU PPP, Senin (7/2).
Pasal 73 UU PPP terdapat empat ayat. Ayat 1 mengatur bahwa rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 disahkan oleh Presiden dengan membubuhkan tanda tangan dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak rancangan undang-undang tersebut disetujui bersama oleh DPR dan Presiden.
Ayat 2 mengatur bahwa dalam hal rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak ditandatangani oleh Presiden dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari. Terhitung sejak rancangan undang-undang tersebut disetujui bersama, rancangan undang-undang tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan.
Ayat 3 berbunyi, "Dalam hal sahnya Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (2), kalimat pengesahannya berbunyi: Undang-Undang ini dinyatakan sah berdasarkan ketentuan Pasal 20 ayat (5) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945".
Ayat 4 berbunyi, "Kalimat pengesahan yang berbunyi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus dibubuhkan pada halaman terakhir Undang-Undang sebelum pengundangan naskah Undang-Undang ke dalam Lembaran Negara Republik Indonesia".
Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) memberikan menolak poin sembilan revisi UU PPP terkait dibolehkannya perbaikan salah ketik terhadap undang-undang yang sudah disahkan. Menurut mereka, hal tersebut justru membenarkan praktik legislasi yang tidak baik, sehingga merendahkan marwah pembentuk undang-undang.
Meskipun hanya meliputi perbaikan salah ketik, tetapi pada praktiknya ketentuan ini rawan untuk disalahgunakan. Seperti yang terjadi pada saat pengesahan RUU Cipta Kerja, di mana terdapat perubahan materi muatan secara substansial pasca persetujuan bersama DPR dan Presiden yang tidak sekedar bersifat teknis penulisan.
"Termasuk juga mengubah substansi dan terdapat salah dalam pengutipan. Pada halaman 151-152 RUU Ciptaker yang telah disetujui bersama oleh DPR dan Presiden pada Rapat Paripurna tanggal 5 Oktober 2020, yang mengubah beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi," ujar anggota Baleg Fraksi PKS Bukhori Yusuf.
Selain itu, masih terdapat banyak perubahan substansial lainnya pasca pengesahan UU Cipta Kerja yang menunjukkan adanya ketidaksinkronan. Juga adanya perubahan yang menghilangkan kepastian hukum dan terdapat pula kesalahan pengutipan dalam rujukan pasal.
Hal ini berimplikasi terhadap ketidaksesuaian dengan asas 'kejelasan rumusan' yang menyatakan bahwa setiap peraturan perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan peraturan perundang-undangan, sistematika, pilihan kata atau istilah. "Serta bahasa hukum yang jelas dan mudah dimengerti sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya," ujar Bukhori.