Rabu 13 Apr 2022 15:48 WIB

Pengesahan UU TPKS Harus Dibarengi dengan Langkah Pemulihan Hak Korban

Selama ini hak korban kekerasan seksual terabaikan.

Rep: Amri Amrullah/ Red: Indira Rezkisari
Sejumlah anggota DPR bersorak ketika mengikuti rapat paripurna DPR di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (12/4/2022). Rapat Paripurna DPR tersebut secara resmi mengesahkan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) menjadi undang-undang.Prayogi/Republika.
Foto: Prayogi/Republika.
Sejumlah anggota DPR bersorak ketika mengikuti rapat paripurna DPR di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (12/4/2022). Rapat Paripurna DPR tersebut secara resmi mengesahkan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) menjadi undang-undang.Prayogi/Republika.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) menjadi Undang Undang (UU) mendapat banyak apresiasi dari kelompok masyarakat sipil. Amnesty International Indonesia berharap dengan disahkannya RUU ini menjadi UU ada langkah progresif segera memulihkan hak korban kekerasan seksual, yang selama ini telah terabaikan.

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid menilai UU TPKS ini adalah langkah penting untuk melindungi korban kekerasan seksual dan para penyintas yang selama ini haknya terabaikan oleh negara. Karena itu, dibutuhkan langkah maju dan progresif untuk melindungi hak-hak korban kekerasan seksual di Indonesia.

Baca Juga

“Momen bersejarah ini hanya dapat dicapai berkat kegigihan dan kerja keras masyarakat sipil, khususnya organisasi-organisasi pembela hak perempuan, serta para penyintas kekerasan seksual dan keluarganya, yang terus berupaya meningkatkan kesadaran tentang urgensi masalah ini selama hampir satu dekade," ujarnya dalam keterangan pers, Rabu (13/4/2022).

Meskipun UU TPKS adalah legislasi yang sangat diperlukan, namun ia mengakui UU ini belum sempurna. Karena itu kelompok masyarakat sipil juga mendesak pemerintah dan DPR untuk memastikan ada langkah progresif mengembalikan hak korban dan para penyintas tersebut

"Pasal-pasal tentang pemerkosaan dalam RKUHP harus sejalan dengan UU TPKS dan mengutamakan hak-hak korban," imbuhnya.

Pada Selasa (12/4/2022) akhirnya DPR RI mengesahkan RUU TPKS menjadi undang-undang. Pengesahan ini menjadikan UU TPKS menjadu legislasi pertama terkait kekerasan seksual dalam sejarah Indonesia.

RUU TPKS pertama kali digagas oleh Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) pada tahun 2012. Komnas Perempuan menyelesaikan penyusunan RUU tersebut bersama dengan LBH APIK dan Forum Pengada Layanan (FPL) pada tahun 2016, dan setelah itu mulai dibahas di DPR.

Pembahasan RUU tersebut sempat terhalang karena adanya oposisi yang beberapa di antaranya berpendapat bahwa itu “pro-perzinaan” karena tidak mengatur hubungan seksual di luar nikah. RUU TPKS juga sempat dikeluarkan dari dfatar Prolegnas Prioritas pada tahun 2020 sebelum kembali dimasukkan pada tahun 2021.

UU terakhir mengatur sembilan jenis kekerasan seksual, seperti pelecehan seksual fisik, pelecehan seksual non-fisik, kontrasepsi paksa, sterilisasi paksa, kawin paksa, penyiksaan seksual, eksploitasi seksual, perbudakan seksual, dan kekerasan seksual berbasis elektronik.

Pemerkosaan dan pemaksaan aborsi, yang pernah masuk dalam draf sebelumnya, dikeluarkan untuk menghindari tumpang tindih dengan RKUHP yang saat ini masih dibahas oleh DPR.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement