Selasa 19 Apr 2022 16:25 WIB

Sri Lanka akan Pangkas Kekuasaan Presiden

Demo menuntut Presiden Sri Lanka, Gotabaya Rajapaksa untuk mundur terus berlanjut

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Esthi Maharani
Gelombang demonstrasi menuntut Presiden Gotabaya Rajapaksa dan kerabatnya yang berkuasa untuk mundur terus berlanjut.
Foto: AP/Andy Buchanan/AFP Pool
Gelombang demonstrasi menuntut Presiden Gotabaya Rajapaksa dan kerabatnya yang berkuasa untuk mundur terus berlanjut.

REPUBLIKA.CO.ID, KOLOMBO – Perdana Menteri Sri Lanka Mahinda Rajapaksa mengatakan, konstitusi akan diamandemen guna memangkas kekuasaan presiden dan memberdayakan parlemen. Hal itu diumumkan saat gelombang demonstrasi menuntut Presiden Gotabaya Rajapaksa dan kerabatnya yang berkuasa untuk mundur terus berlanjut.

Mahinda mengungkapkan kepada parlemen bahwa transfer kekuasaan akan menjadi salah satu langkah cepat yang dapat diambil guna menstabilkan situasi politik di Sri Lanka. “Sambil mencari solusi untuk masalah ekonomi, penting bagi kita untuk memiliki stabilitas politik dan sosial di negara ini,” ujarnya, Selasa (19/4/2022).

Baca Juga

Menurutnya, kembali ke status konstitusional dengan menempatkan lebih banyak kekuasaan ke parlemen akan memulai reformasi. Saat ini Sri Lanka berada di ambang kebangkrutan. Pada akhir Maret lalu, cadangan devisa negara tersebut dilaporkan hanya 1,93 miliar dolar AS. Sementara terdapat 7 miliar dolar AS utang luar negerinya yang harus dibayar tahun ini.

Bulan lalu, harga barang-barang di sana naik 19 persen atau merupakan yang tercepat di Asia. Melambungnya harga turut disertai dengan meluasnya pemadaman listrik, kelangkaan makanan dan obat-obatan. Kondisi tersebut mendorong warga Sri Lanka turun ke jalan dan menggelar demonstrasi. Mereka menuntut Gotabaya Rajapaksa mundur dari jabatannya. Gelombang demonstrasi telah mendorong 26 menteri di pemerintahan Gotabaya mundur pada 3 April lalu. Hal itu memaksa Gotabaya membentuk kabinet baru untuk menopang jalannya pemerintahan.

Sri Lanka telah memutuskan menangguhkan pembayaran utang luar negerinya. Secara total negara tersebut memiliki utang 25 miliar dolar AS. “Sudah sampai pada titik bahwa melakukan pembayaran utang itu menantang dan tidak mungkin. Tindakan terbaik yang dapat diambil adalah merestrukturisasi utang dan menghindari default yang sulit," kata Gubernur Bank Sentral Sri Lanka P. Nandalal Weerasinghe kepada awak media pada 12 April lalu.

Duta Besar Sri Lanka untuk China Palitha Kohona telah menyampaikan, negaranya sedang berusaha meminjam 1 miliar dolar AS kepada Negeri Tirai Bambu. Nantinya dana tersebut akan digunakan untuk membayar kembali pinjaman Beijing yang jatuh tempo pada Juli mendatang. Pada saat bersamaan, Sri Lanka pun berupaya meminta jalur kredit senilai 1,5 miliar dolar AS kepada China.

Dari jalur kredit itu, Sri Lanka hendak membeli barang-barang asal Cina, seperti tekstil untuk mendukung industri ekspor pakaian jadi. Kohona mengungkapkan, proses pengajuan pinjaman itu kemungkinan akan memakan waktu berminggu-minggu. Namun dia tak memberikan kerangka waktu yang tepat dan tidak mengungkap persyaratan pendanaan.

“Mengingat keadaan saat ini, tidak banyak negara yang bisa melangkah ke lapangan dan melakukan sesuatu. China adalah salah satu negara yang dapat melakukan sesuatu dengan cepat,” kata Kohona pada 11 April lalu.

Menurut Kohona, baru-baru ini, Presiden Sri Lanka Gotabaya Rajapaksa menulis surat kepada Presiden China Xi Jinping. Gotabaya secara terbuka menyampaikan bahwa negaranya mencari dukungan kredit.

“Permintaan kami akan dipenuhi, tapi mereka harus melalui sistem China. Kami sangat yakin bahwa lebih cepat, kedua fasilitas (pinjaman dana dan kredit) akan tersedia bagi kami,” ucapnya.

sumber : Reuters/AP
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement