Rabu 29 Jun 2022 17:08 WIB

Mencegah Pasal Karet dari Poin Penghinaan Presiden di RKUHP

Batasan tentang penghinaan Presiden sangat penting diatur di RKUHP.

Red: Indira Rezkisari
Mahasiswa membentangkan poster saat aksi unjuk rasa di depan Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (28/6/2022). Pengunjuk rasa yang berasal dari berbagai  universitas tersebut menolak pengesahan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP).
Foto:

Anggota Komisi III DPR Nasir Djamil berharap sebelum pengesahan RKUHP, keterlibatan publik benar-benar menjadi sesuatu yang menjadi prioritas dari pemerintah. "Saya termasuk yang meminta agar ini dibuka kembali diberi ruang kepada elemen sipil untuk berpartisipasi," ujar Nasir saat dihubungi.

Ia mengamini, jika ada sejumlah pasal dalam RKUHP yang dilandaskan oleh nilai-nilai yang dibangun pemerintah kolonial Belanda pada masa pra kemerdekaan Indonesia. Tujuan dari semangat kolonialisme itu adalah untuk menjaga kekuasaannya.

Salah satunya termaktub dalam Pasal 217 hingga Pasal 219, yang mengatur ihwal penghinaan terhadap presiden atau wakil presiden. Pasal tersebut membuat publik berpandangan bahwa pemerintah seakan tak boleh dikritik, meskipun pasal tersebut bersifat delik aduan.

"Semangatnya kolonial itu mempertahankan kekuasaan dan menjaga supaya tetap terhormat, bermartabat kedudukannya, dan mereka tidak diganggu. Segala sesuatu yang bisa mengganggu harga diri mereka itu dipidanakan, itu kan karakter kolonial," ujar Nasir.

Karenanya, partisipasi publik sangat penting dalam pembahasan kembali RKUHP yang merupakan carry over dari DPR periode sebelumnya. Hal tersebut merupakan bagian dari asas keterbukaan, yang juga dapat menjadi media sosialisasi hukum pidana baru kepada publik.

"Keterlibatan publik dalam membahas RKUHP sebagai induk hukum pidana itu penting, terutama untuk menampung seluruh aspirasi masyarakat. Di samping memuat harapan publik, RKUHP diharapkan menata kembali hukum," ujar politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu.

Dalam draf RKUHP yang beredar, aturan terkait penghinaan terhadap presiden/wapres diatur dalam BAB II Pasal 217—219. Pasal 217 disebutkan bahwa setiap orang yang menyerang diri presiden/wapres yang tidak termasuk dalam ketentuan pidana yang lebih berat dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun.

Pasal 218 Ayat (1) disebutkan bahwa setiap orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri presiden/wapres dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun 6 bulan atau pidana denda paling banyak Kategori IV. Ayat (2) menyebutkan tidak merupakan penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) jika perbuatan dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri.

Selanjutnya, Pasal 219 disebutkan bahwa setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, atau menyebarluaskan dengan sarana teknologi informasi yang berisi penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat terhadap presiden/wapres dengan maksud agar isinya diketahui atau lebih diketahui umum dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 tahun 6 bulan atau pidana denda paling banyak Kategori IV.

Namun, pasal penghinaan presiden atau wakil presiden dalam RKUHP merupakan delik aduan. Artinya hanya orang yang dirugikanlah, yakni presiden atau wakil presiden yang boleh melaporkan jika ada penghinaan terhadap dirinya.

Anggota Komisi III Arsul Sani mengatakan, bola terkait pengesahan RKUHP saat ini kini berada di tangan pemerintah. Namun dalam rapat terakhir pihaknya dengan Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham), Komisi III berharap RKUHP dapat disahkan sebelum berakhirnya masa sidang DPR pada 7 Juli mendatang.

Pengesahan RKUHP dapat menjadi salah satu hadiah bagi Indonesia, di mana sebulan setelahnya adalah hari perayaan kemerdekaan pada 17 Agustus. Namun, keputusan tersebut kembali kepada pemerintah.

"Harapannya berarti memang sebelum DPR reses lagi, itu sudah bisa kita selesaikan, tapi itu kan harapan DPR. Itu terulang kembali kepada pemerintahnya, mengajukan atau tidak," ujar Arsul.

Dalam rapat terakhir antara Komisi III dengan Kemenkumham, pemerintah meminta dihapusnya dua pasal dalam RKUHP. Pertama adalah pasal yang mengenai dokter atau dokter gigi yang melaksanakan pekerjaannya tanpa izin. Kedua adalah pasal soal advokat yang curang.

"Pemerintah menyampaikan kepada kami di Komisi III ada dua pasal yang pemerintah ingin hapus, karena itu mengakomodasi masukan dari masyarakat," ujar anggota panitia khusus (Pansus) RKUHP pada 2019 itu.

photo
Rancangan KUHP - (republika/kurnia fakhrini)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement