Senin 11 Jul 2022 03:45 WIB

Partai Garuda Gugat UU Pemilu Soal Menteri Maju Capres

Partai Garuda mempermasalahkan perlakuan berbeda terhadap menteri saat maju Capres

Rep: Mimi Kartika/ Red: Nur Aini
Ketua Umum Partai Garuda Ahmad Ridha Sabana.
Foto: dok. Partai Garuda
Ketua Umum Partai Garuda Ahmad Ridha Sabana.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Partai Gerakan Perubahan Indonesia (Garuda) menggugat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu). Ketua Umum Partai Garuda Ahmad Ridha Sabana dan Sekretaris Jenderal Yohanna Murtika menguji Pasal 170 ayat (1) terkait frasa "pejabat negara".

Pasal 170 ayat (1) UU Pemilu tersebut berbunyi; "Pejabat negara yang dicalonkan oleh Partai Politik Peserta Pemilu atau Gabungan Partai Politik sebagai calon Presiden atau calon Wakil Presiden harus mengundurkan diri dari jabatannya, kecuali Presiden, Wakil Presiden, Pimpinan dan anggota MPR, Pimpinan dan anggota DPR, Pimpinan dan anggota DPD, gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, wali kota, dan wakil wali kota."

Baca Juga

Penjelasan Pasal 170 ayat (1) UU Pemilu menyatakan, "Yang dimaksud dengan "pejabat negara" dalam ketentuan ini adalah: a. Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda dan Hakim Agung pada Mahkamah Agung; b. Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim pada semua badan peradilan kecuali Hakim ad hoc; c. Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Mahkamah Konstitusi; d. Ketua, Wakil Ketua dan Anggota Badan Pemeriksa Keuangan; e. Ketua, Wakil Ketua dan Anggota Komisi Yudisial; f. Ketua dan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi; g. Menteri dan pejabat setingkat Menteri; h. Kepala Perwakilan Republik Indonesia diluar negeri yang berkedudukan sebagai Duta Besar Luar Biasa dan Berkauasa penuh; dan i. Pejabat Negara lainnya yang ditentukan oleh undang-undang."

Kuasa hukum Partai Garuda, Munathsir Mustaman, mengatakan, untuk pemberdayaan partai politik (parpol) pada era reformasi dan sesuai keinginan para penyusun perubahan terhadap UUD 1945, salah satu sarana demokrasi dalam pemilu presiden ditentukan melalui parpol. Hal itu sebagaimana ketentuan Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 yang menyebutkan; “Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum”.

“Melalui partai politik, rakyat dapat mewujudkan haknya untuk menyatakan pendapat tentang arah kehidupan dan masa depannya dalam bermasyarakat dan bernegara. Parpol dapat mengambil peran penting dalam memberikan kebebasan, kesetaraan, kebersamaan sebagai upaya untuk membentuk bangsa dan negara yang padu,” ujar Munathsir dalam sidang pemeriksaan pendahuluan perkara nomor 68/PUU-XX/2022 pada Kamis (7/7/2022).

Munathsir menyampaikan, dalil para pemohon bahwa menteri adalah pejabat negara yang tidak dikecualikan untuk mengundurkan diri dalam jabatannya apabila dicalonkan sebagai calon presiden ataupun calon wakil presiden. Menteri yang saat ini tengah menjabat dalam Kabinet Indonesia Maju, juga pemohon yang mengusung menteri untuk menjadi calon presiden atau wakil presiden, potensial mengalami kerugian konstitusional menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi.

Berbeda halnya dengan gubernur atau wakil gubernur, bupati atau wakil bupati, wali kota atau wakil wali kota, apabila dicalonkan sebagai calon presiden ataupun calon wakil presiden hanya memerlukan izin kepada presiden sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 171 ayat (1) UU Pemilu.

"Perlakuan berbeda antara menteri dengan dengan gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, wali kota dan wakil wali kota apabila dicalonkan sebagai presiden dan wakil presiden oleh Pemohon, juga telah mencederai dan menimbulkan ketidakadilan bagi Pemohon, sebagaimana yang dijamin dan dilindungi berdasarkan ketentuan Pasal 22E Undang‑Undang Dasar Tahun 1945," kata Munathsir.

Menanggapi permohonan Partai Garuda, Hakim Konstitusi Saldi Isra meminta pemohon memperjelas materi UU Pemilu yang dimohonkan untuk diuji. “Saudara ini mau menguji Pasal 170 ayat (1) saja atau termasuk juga dengan penjelasannya? Itu harus jelas. Karena kalau dilihat di hal permohonan, itu kan permohonan pengujian Pasal 170 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Padahal kalau dilihat di bagian akhirnya, di petitum, Saudara juga minta pengujian terkait dengan Penjelasan Pasal 170 ayat (1),” ucap Saldi.  

Karena itu, kalau memang hanya Pasal 170 ayat (1) tanpa penjelasannya, kata Saldi, petitumnya diperbaiki. Tapi kalau dimaksudkan sekaligus kedua-duanya, yaitu Pasal 170 ayat (1) dan penjelasannya UU Nomor 7 Tahun 2017, maka diperbaiki di perihal permohonan. 

“Yang kedua, ditajamkan argumentasinya dan alasan mengajukan permohonan,” kata Saldi.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
وَمَا تَفَرَّقُوْٓا اِلَّا مِنْۢ بَعْدِ مَا جَاۤءَهُمُ الْعِلْمُ بَغْيًاۢ بَيْنَهُمْۗ وَلَوْلَا كَلِمَةٌ سَبَقَتْ مِنْ رَّبِّكَ اِلٰٓى اَجَلٍ مُّسَمًّى لَّقُضِيَ بَيْنَهُمْۗ وَاِنَّ الَّذِيْنَ اُوْرِثُوا الْكِتٰبَ مِنْۢ بَعْدِهِمْ لَفِيْ شَكٍّ مِّنْهُ مُرِيْبٍ
Dan mereka (Ahli Kitab) tidak berpecah belah kecuali setelah datang kepada mereka ilmu (kebenaran yang disampaikan oleh para nabi) karena kedengkian antara sesama mereka. Jika tidaklah karena suatu ketetapan yang telah ada dahulunya dari Tuhanmu (untuk menangguhkan azab) sampai batas waktu yang ditentukan, pastilah hukuman bagi mereka telah dilaksanakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang mewarisi Kitab (Taurat dan Injil) setelah mereka (pada zaman Muhammad), benar-benar berada dalam keraguan yang mendalam tentang Kitab (Al-Qur'an) itu.

(QS. Asy-Syura ayat 14)

Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement