REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menegaskan para korban atau penyintas dari kejahatan tindak pidana terorisme merupakan tanggung jawab negara. Tanggung jawab negara tersebut merujuk kepada hal mengobati luka dan mengganti kerugian terhadap para penyintas akibat dari kejahatan kasus tindak pidana terorisme.
"Negara hadir, negara tidak ingkar dalam merengkuh di tengah kepedihan dan penderitaan secercah cahaya memberikan harapan bahwa negara kita telah memperhatikan korban," kata Ketua LPSK Hasto Atmojo Suroyo di Jakarta, Ahad (21/8/2022).
Saat ini, perlindungan terhadap korban terorisme di Indonesia juga mampu menjangkau para penyintas di masa lalu melalui Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2020. Kemudian, pada 2022 LPSK bersama Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) juga telah menuntaskan pemenuhan hak bagi korban terorisme di masa lalu.
"Pemenuhan hak tersebut melalui fasilitasi kompensasi," kata Hasto.
Pada kesempatan itu, ia mengatakan, kejahatan terorisme selalu menimbulkan dampak buruk dan melekat bagi korban di sepanjang hidupnya. LPSK bersama Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) memiliki sebuah program yang disebut dengan Sahabat Saksi dan Korban (SSK). Kolaborasi dua instansi tersebut untuk menjadikan para penyintas korban terorisme menjadi lebih tangguh.
"Ini adalah salah satu program prioritas nasional LPSK bersama Bappenas," kata dia.
Program tersebut juga ditujukan agar para penyintas terorisme termasuk korban tindak pidana lain bersinergi dan bersahabat dengan para saksi dan korban yang lainnya. Harapannya, kelompok tersebut bisa mengakses semua layanan pemulihan dari LPSK.
Terakhir, saat ini LPSK sedang menggencarkan program SSK di berbagai provinsi di Tanah Air. LPSK mengundang seluruh lapisan masyarakat agar bisa bersinergi dengan lembaga itu supaya memberikan perhatian kepada penyintas.