Kamis 01 Sep 2022 20:20 WIB

Ferdy Sambo Akhirnya Ditetapkan Sebagai Tersangka Kasus Obstruction of Justice

Ditambah Ferdy Sambo, total tersangka obstruction of justice berjumlah tujuh orang.

Tersangka mantan Kadiv Propam Polri Irjen Ferdy Sambo mengenakan pakaian tahanan bersama istrinya Putri Chandrawathi saat mengikuti rekonstruksi di rumah dinas Ferdy Sambo di Kompleks Polri Duren Tiga, Jalan Duren Tiga Utara I, Jakarta Selatan, Selasa (30/8/2022). Selain menjadi tersangka kasus pembunuhan terhadap Brigadir J, Ferdy Sambo juga menjadi tersangka di kasus obstruction of justice.
Foto: Republika/Thoudy Badai
Tersangka mantan Kadiv Propam Polri Irjen Ferdy Sambo mengenakan pakaian tahanan bersama istrinya Putri Chandrawathi saat mengikuti rekonstruksi di rumah dinas Ferdy Sambo di Kompleks Polri Duren Tiga, Jalan Duren Tiga Utara I, Jakarta Selatan, Selasa (30/8/2022). Selain menjadi tersangka kasus pembunuhan terhadap Brigadir J, Ferdy Sambo juga menjadi tersangka di kasus obstruction of justice.

REPUBLIKA.CO.ID, Direktorat Tindak Pidana Siber menetapkan Inspektur Jenderal Polisi Ferdy Sambo sebagai tersangka dugaan tindak pidana menghalangi penyidikan (obstruction of justice) kasus pembunuhan berencana terhadap Brigadir J di tempat kejadian perkara di rumahnya, di kawasan Duren Tiga, Jakarta Selatan. Status tersangka Sambo di kasus obstruction of justice sebelumnya sempat simpang siur.

"Sudah ditetapkan sebagai tersangka seperti yang disampaikan Pak Irwasum (Polri) di Komnas HAM tadi, sudah termasuk FS ditetapkan tersangka," kata Kepala Divisi Humas Polri, Inspektur Jenderal Polisi Dedi Prasetyo, saat dikonfirmasi di Jakarta, Kamis (1/9/2022).

Baca Juga

Sehingga sampai saat itu, katanya, secara total ada tujuh polisi yang ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus obstruction of justice. "Ada tambahan terakhir malam ini info dari Direktorat Siber sudah jadi tujuh tersangka," kata Dedi.

Enam tersangka lain, yakni Brigadir Jenderal Polisi Hendra Kurniawan, Komisaris Besar Polisi Agus Nurpatria, AKBP Arif Rahman Arifin, Komisaris Polisi Baiqul Wibowo, Komisaris Polisi Chuk Putranto, dan AKP Irfan Widyanto. Dedi menjelaskan, keenam tersangka itu berperan dalam merusak barang bukti berupa ponsel, CCTV, dan menambahkan barang bukti di tempat kejadian perkara.

Sementara itu, kata Dedi, bersamaan dengan penegakan hukum atas tindak pidana menghalangi penyidikan berjalan paralel dengan sidang Komisi Kode Etik Polri (KKEP). Dari tujuh tersangka, satu orang yakni Putranto sedang disidang etik di Divisi Profesi dan Pengamanan Kepolisian Indonesia.

"Hari ini CP (Chuk Putranto), besok Kompol BW (Baiquni), itu dulu. Baru nanti Senin, Selasa, Rabu, kami tunggu informasi dari Propam,? ujar dia.

Secara terpisah Kejaksaan Agung telah menerima enam surat pemberitahuan penetapan tersangka kasus menghalang-halangi penyidikan pembunuhan berencana terhadap Brigadir J atau Nofriansyah Yosua Hutabarat. Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Ketut Sumedana, mengatakan, keenam tersangka terkait dalam tindakan apapun yang berakibat terganggunya sistem elektronik dan atau mengakibatkan sistem elektronik tidak bekerja sebagaimana mestinya dan atau dengan cara apapun mengubah, menambah, mengurangi, melakukan transmisi, merusak, menghilangkan, memindahkan, menyembunyikan suatu informasi elektronik dan atau dokumen elektronik milik orang lain atau milik publik.

"Perbuatan itu diancam dalam pasal 49 juncto pasal 33 dan atau pasal 48 ayat (1) juncto pasal 32 ayat (1) UU tentang Informasi dan Transaksi Elektronik," kata dia, dalam keterangan tertulisnya, Kamis.

Selain itu, mereka juga terlibat dalam tindakan menghalangi, menghilangkan bukti elektronik sebagaimana dimaksud dalam pasal 221 ayat (1) ke-2 dan 233 KUHP juncto pasal 55 KUHP dan atau pasal 56 KUHP.

Pakar hukum pidana dari Universitas Al-Azhar, Suparji Ahmad, menilai, Polri telah bertindak tegas seusai menetapkan tujuh perwira polisi sebagai tersangka penghalang-halangan penyidikan atau obstruction of justice dalam penyidikan kasus pembunuhan Brigadir J.

"Menurut saya, satu sisi kita lihat itu sebagai sebuah langkah tegas," kata dia, dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Kamis. 

Seusai ditetapkan sebagai tersangka menghalang-halangi penyidikan, kata dia, Polri harus mengurai kesalahan masing-masing tersangka. Pada sisi yang lain adalah sebetulnya juga perlu dirinci tentang kesalahan masing-masing. 

Baca juga : Ini Animasi Rekonstruksi Pembunuhan, Sambo Tembak Kepala Brigadir J

Ia menyebut dalam pemeriksaan etik, Polri harus melihat sejauh mana tingkat kesalahan yang dilakukan para tersangka. Kemudian juga perlu dilihat sejauh mana kesalahan itu dilakukan.

"Artinya, ada (atau) tidak (ada) mens rea-nya, ada (atau) tidak (ada) niat jahatnya ? Atau semata-mata hanya perintah jabatan atau perintah atasan," ucapnya.

Jika dalam pemeriksaan etik ditemukan unsur perintah atasan untuk menghalangi penyidikan, kata dia, yang menerima perintah tersebut tak semestinya dijadikan tersangka. Sehingga, kalau memang itu ada unsur perintah jabatan dan itu memenuhi unsur pasal 51 KUHP mestinya tidak perlu ditetapkan jadi tersangka.

Lebih lanjut, kata dia, jika ditemukan unsur perintah atasan, maka Polri harus mengungkap siapa atasan itu. Ia bilang, atasan itulah yang menjadi penggagas upaya menghalangi penyidikan.

"Siapa yang memang menggagas perusakan barang bukti tadi itu, sehingga ini adalah jelas tidak bisa kemudian digeneralisir, harus kasus per kasus, harus personal per personal, dan kemudian juga dilakukan pertimbangan-pertimbangan yang objektif," tuturnya.

 

 

sumber : Antara
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement