Kamis 05 Jan 2023 18:40 WIB

Federasi Serikat Buruh: Substansi Perppu Lebih Buruk dari UU Cipta Kerja

Buruh tidak bisa membayangkan akan ada perppu-perppu lain yang begitu mudah dibuat.

Rep: Wahyu Suryana, Ronggo Astungkoro, Dessy Suciati Saputri/ Red: Andri Saubani
Massa yang tergabung dari berbagai elemen buruh melakukan aksi di kawasan Patung Kuda, Jakarta, Kamis (15/12/2022). Kalangan buruh menilai, substansi Perppu Cipta Kerja lebih buruk dari UU Cipta Kerja. (ilustrasi)
Foto: Republika/Thoudy Badai
Massa yang tergabung dari berbagai elemen buruh melakukan aksi di kawasan Patung Kuda, Jakarta, Kamis (15/12/2022). Kalangan buruh menilai, substansi Perppu Cipta Kerja lebih buruk dari UU Cipta Kerja. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Umum Federasi Serikat Buruh Persatuan Indonesia, Jumisih, mengaku ikut kena prank atas dikeluarkannya Perppu 2/2022 tentang Cipta Kerja. Ia merasa, Perppu Cipta Kerja jadi hadiah yang buruk memasuki tahun yang baru.

"Saat itu, kami langsung mencari dan tidak ada. Begitu keluar, saya baca, secara substansi tidak jauh berbeda, bahkan lebih buruk dari UU Cipta Kerja," kata Jumisih dalam diskusi daring yang digelar Indo Progress, Kamis (5/1/2022).

Baca Juga

Terkait ini, ia menyatakan, Partai Buruh secara umum menolak atas Perppu ini karena secara hukum tata negara ini tidak bisa dibenarkan, bahkan mengerikan. Sebab, tidak bisa dibayangkan ada perppu-perppu lain yang begitu mudah dibuat.

Dari sudut pandang buruh, Jumisih mengaku kaget, begitu membaca pasal per pasal terkait klaster ketenagakerjaan yang merugikan kaum buruh. Paling penting, ada legalisasi ketidakpastian kerja, masalah utama yang merembet ke hal-hal lain.

Mulai dari upah, jaminan sosial, cuti, pesangon dan PHK. Ketidakpastian kerja ini difasilitasi, dipermudah, diberi ruang seluas mungkin, sehingga saat ini tenaga kerja ada dalam posisi ini. Ia melihat, posisi kaum buruh tidak jelas.

"Bisa dalam satu bulan pindah kerja dari perusahaan satu ke perusahaan lain, bisa ke perusahaan formal, bisa ke informalisasi tenaga kerja dan arahnya ke informalisasi tenaga kerja dari Perppu Cipta Kerja ini," ujar Jumisih.

Ia mengingatkan, jika ketidakpastian kerja ini dilegalisasi dan diterapkan, maka dampaknya akan luar biasa bagi tenaga kerja. Mulai dari waktu kerja yang semakin panjang, lalu upah, kebebasan berserikat, jaminan sosial sampai cuti.

Kebebasan berserikat, misal, UU Cipta Kerja yang dialihkan namanya ke Perppu Cipta Kerja, secara prinsip memberi ruang ke pengusaha untuk membebaskan mereka merekrut tenaga kerja sebebas-bebasnya. Artinya, akan ada obral tenaga kerja.

Tenaga kerja di Indonesia bisa diobralkan dengan murah untuk menarik investor datang. Pengusaha dapat pula mengobral tenaga kerja karena bisa menghilangkan upah cuti, mengekang kebebasan berserikat, memperkecil pesangon dan lain-lain.

"Pak Mahfud (Menko Polhukam) sampaikan ini untuk pekerja, supaya banyak direkrut, pengangguran yang jumlahnya banyak bisa direkrut. Dalam kaca mata kami, ini jadi informalisasi tenaga kerja yang kesejahteraannya akan merosot, terjun bebas," kata Jumisih.

Sehingga, ia berpendapat, Perppu Cipta Kerja sama saja bentuk alat pembungkaman. Sebab, serikat buruh alat untuk berbicara, untuk menuntut, menyuarakan gagasan mencapai keadilan. Tapi, saat dibatasi akan menjadi poin yang harus dikritisi.

"Walaupun tidak secara langsung bilang, kalian tidak boleh serikat, tidak akan bilang seperti itu. Tapi, karena redaksional dalam Perppu Cipta Kerja kontrak bisa lima tahun, itu luar biasa, itu luar biasa sekali," ujar Jumisih. 

Sebelumnya, Presiden Partai Buruh Said Iqbal menyoroti pasal terkait outsourcing. Menurut Said, peraturan mengenai outsourcing di Perppu Cipta Kerja justru membingungkan.

"Terkait dengan outsourcing, di dalam UU Cipta Kerja dibebaskan di semua jenis pekerjaan. Di dalam Perppu Nomor 2 tahun 2022, tampaknya pembuat Perppu ingin mengubah ketentuan tersebut, tetapi menjadi semakin membingungkan," kata Presiden Partai Buruh, Said Iqbal, lewat keterangannya, Kamis (5/1/2023).

Di Perppu tertulis, perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksaaan pekerjaan kepada perusahaan alih daya. Dia menafsirkannya, outsourcing tetap diperbolehkan dalam Perppu. Di mana penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaaan alih daya akan ditetukan oleh pemerintah. Tapi, pembatasan jumlah jenis pekerjaannya tidak jelas.

"Partai Buruh menilai pasal outsourcing harus kembali kepada UU No 13 Tahun 2003. Ada kegiatan pokok dan penunjang, di mana yang boleh menggunakan outsourcing hanya di pekerjaan penunjang. Itu pun hanya dibatasi untuk lima jenis pekerjaan. Cattering, security, driver, cleaning servis, dan penunjang perminyakan," kata dia.

Said telah mengungkapkan, pihaknya akan melakukan aksi apabila Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja tetap dipaksa untuk diberlakukan dengan isi yang seperti saat ini. Tetapi, Partai Buruh akan melihat perkembangan sikap pemerintah dan sikap DPR terlebih dahulu.

"Kita lihat perkembangan sikap pemerintah, sikap DPR yang akan menerima Perppu itu bagaimana. Baru Partai Buruh bersama serikat buruh, serikat petani, dan kelas pekerja lainnya akan menggelar aksi kalau isi Perppu tidak sesuai," ujar Said dikutip dari siaran Youtube, Selasa (3/1/2023).

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD mengatakan, masih banyak masyarakat yang belum memahami putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai UU Cipta Kerja, namun sudah ikut memberikan komentarnya.

"Banyak yang pertama tidak paham putusan MK itu seperti apa dan yang kedua (banyak yang) belum membaca isinya sudah berkomentar sehingga saya persilakan saja kalau mau terus didiskusikan, maka diskusikan saja," ujar Mahfud di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa (3/1).

 

photo
UU Cipta Kerja masih butuh aturan turunan - (Republika)

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement