REPUBLIKA.CO.ID, TUNIS -- Pihak berwenang Tunisia telah menutup markas partai oposisi Ennahdha, sehari setelah pemimpin mereka Rached Ghannouchi ditangkap. Penasihat Ghannouchi, Ahmed Gaaloul, mengatakan, polisi melakukan penggeledahan di gedung tersebut pada Selasa (18/4/20243) dan akan ditutup selama minimal tiga hari.
"Sebuah unit polisi muncul di markas utama partai (di Tunis) dan memerintahkan semua orang di sana untuk pergi sebelum menutupnya," kata seorang pejabat senior partai, Riadh Chaibi, dilaporkan Aljazirah, Selasa (18/4/2023).
“Polisi juga menutup kantor partai lain di tempat lain di negara ini dan melarang pertemuan apa pun di tempat ini,” tambah Chaibi.
Ghannouchi ditangkap di rumahnya di Ibu Kota Tunis pada Senin (17/4/2023) malam. Seorang pejabat Ennahda mengatakan, Ghannouchi dibawa ke rumah sakit namun tidak ada keterangan lebih lanjut.
Ennahdha adalah partai terbesar di parlemen Tunisia sebelum Presiden Kais Saied membubarkan majelis itu pada Juli 2021. Sejak awal Februari, pihak berwenang telah menangkap lebih dari 20 lawan politik dan tokoh. Termasuk politisi, mantan menteri, pengusaha, serikat pekerja dan pemilik stasiun radio paling populer di Tunisia, Mosaique FM.
Saied mengeklaim mereka yang ditahan adalah teroris yang terlibat dalam konspirasi melawan keamanan negara.
Wakil Presiden Ennahdha, Mondher Lounissi mengatakan, Ghannouchi telah dibawa ke barak polisi untuk diinterogasi dan pengacaranya tidak diizinkan hadir. Penangkapannya terjadi setelah dia memperingatkan Tunisia menghadapi perang saudara jika salah satu kekuatan politik negara itu, termasuk Islam politik dan sayap kiri dikecualikan.
Sebuah sumber di Kementerian Dalam Negeri yang dikutip media Tunisia menegaskan, penangkapan Ghannouchi terkait dengan pernyataan tersebut. Putri Ghannouchi, Yusra Ghannouchi, mengatakan, interogasi terhadap ayahnya didasarkan pada tuduhan yang dibuat-buat dan bermotif politik.
“Semua kritik terhadap kudeta Kais Saied dan perebutan kekuasaannya dan kegagalannya mengelola ekonomi, untuk memberikan solusi apa pun untuk mengeluarkan Tunisia dari krisisnya dan desakannya untuk membawa Tunisia kembali ke kediktatoran. Siapa pun yang mengkritik ini adalah sasaran represi Kais Saied," kata Yusra Ghannouchi.
Ghannouchi adalah ketua parlemen Tunisia sebelum Saied membubarkannya dan melanjutkan untuk merebut kekuasaan melalui serangkaian gerakan yang dinilai sebagai kudeta. Penentang Saied menuduhnya mengembalikan pemerintahan otokratis di Tunisia, yang merupakan satu-satunya negara demokrasi yang muncul dari pemberontakan Arab Spring di Timur Tengah lebih dari satu dekade lalu.
Kelompok hak asasi manusia mengkritik penangkapan yang menargetkan tokoh terkemuka Front Keselamatan Nasional (NSF), koalisi oposisi utama, termasuk Ennahdha. "Penangkapan pemimpin partai politik paling penting di negeri ini, dan yang selalu menunjukkan komitmennya pada aksi politik damai, menandai fase baru dalam krisis," kata kepala NSF Ahmed Nejib Chebbi pada Senin malam.
“Ini adalah balas dendam buta terhadap lawan,” tambahnya.
Ghannouchi muncul di pengadilan pada akhir Februari atas tuduhan terkait teror setelah dituduh menyebut polisi sebagai tiran. Ghannouchi diasingkan selama lebih dari 20 tahun di bawah mendiang diktator Zine El Abidine Ben Ali. Ghannouchi kembali setelah pemberontakan pada 2011, dan menjadi tokoh dominan dalam politik Tunisia.