Senin 04 Sep 2023 04:54 WIB

Menag Imbau Masyarakat: Kalau Ada Capres Pernah Pecah Belah Umat, Jangan Dipilih

"Harus dicek betul. Pernah nggak calon presiden kita ini, memecah-belah umat."

Red: Andri Saubani
Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas. Yaqut mengingat masyarakat agar tidak memilih capres yang punya rekam jejak pecah belah umat. (ilustrasi)
Foto:

Menag menyampaikan pentingnya penelusuran rekam jejak saat menentukan calon pemimpin bangsa. Hal ini, kata dia, bertujuan agar bangsa Indonesia memperoleh pemimpin yang amanah dan dapat mengemban tanggung jawab kemajuan negeri ini.

"Saya berpesan kepada seluruh ikhwan dan akhwat ini agar nanti ketika memilih para pemimpin, memilih calon pemimpin kita, calon presiden, dan wakil presiden, kita, lihat betul rekam jejaknya," kata Menag.

Menag berharap Tarekat Tijaniyah dapat mengambil peran yang lebih besar menjelang tahun politik untuk mendamaikan umat, agar umat bisa tetap tenang, teduh, dan damai meskipun berbeda-beda dalam pilihannya.

"Bagaimana memilih pemimpin yang benar-benar bisa dipercaya, bisa diberikan amanah untuk memimpin bangsa besar. Bangsa yang memiliki keragaman, bangsa yang memiliki banyak perbedaan, tetapi itu menjadi kekuatan kita," ujar Menag Yaqut Cholil Qoumas.

Pekan lalu, Kepala Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama (Kemenag), Amien Suyitno juga mengajak seluruh aparatur sipil negara (ASN) di lingkungan kementerian itu untuk menolak politik identitas, karena dapat mengancam persatuan. Ia mendorong ASN harus menjadi agen yang bisa mengeliminasi setiap penggunaan politik identitas yang dapat memecah belah persatuan.

"Saya ingin menyampaikan pesan Gus Men (Yaqut Cholil Qoumas) tentang perlunya menolak politik identitas," ujar Amien dalam keterangan di Jakarta, Selasa, pekan lalu.

Amien mengatakan politik identitas harus ditolak, karena sangat berbahaya bagi harmoni dan kerukunan masyarakat Indonesia. Menurut dia, politik identitas dengan identitas manusia berbeda. Setiap orang tentu memiliki identitas masing-masing, baik jabatan, pekerjaan, kelompok gender, maupun agama, dan suku bangsa.

"Mengapa kita harus menolak politik identitas? Kalau terkait pentingnya identitas, memang iya. Lalu, apanya yang kita tolak? Yaitu politik identitas yang digunakan untuk kepentingan politik," kata dia.

Menurut Suyitno, identitas yang melekat, seperti suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) tentu tidak bisa ditolak. Sebab, semua itu merupakan bawaan lahir. Akan tetapi, jika itu digunakan untuk kepentingan politik praktis, harus ditolak.

"Sebab, itu berbahaya. Apalagi, politik identitas dengan nomenklatur agama itu lebih berbahaya lagi. Karena kita punya pengalaman bahwa hal itu bisa menjadikan disharmoni antarkeluarga," katanya.

Amien menambahkan disharmoni antarkeluarga masih bisa ditemui di masyarakat akibat perbedaan pilihan politik pada Pilpres 2019. Maka dari itu, menjadi penting untuk menolak politik identitas demi memperkuat harmoni di tengah perbedaan.

"Mereka belum move on. Ini nyata dan ini harus kita cegah," kata dia.

 

  

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement