REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mahkamah Konstitusi (MK) menolak untuk seluruhnya uji materiil Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK). Perkara Nomor 131/PUU-XX/2023 yang dimohonkan oleh Mochammad Adhi Tiawarman mendalilkan aturan mengenai syarat bagi calon hakim konstitusi yang tertuang dalam norma yang dijui tersebut bertentangan dengan UUD 1945.
"Menolak untuk seluruhnya permohonan Pemohon," kata Ketua MK Suhartoyo saat membacakan amar putusan di Ruang Sidang Pleno Gedung I MK pada Kamis (21/12/2023).
MK menilai norma tersebut sesuai dengan UUD 1945. Menurut MK, jika Pemohon memandang perlunya ada tambahan syarat tidak boleh memiliki hubungan semenda sampai derajat ketiga dengan Presiden/DPR, maka hal tersebut merupakan kewenangan pembentuk undang-undang.
"Mahkamah mempertimbangkan berkenaan dengan syarat-syarat untuk menjadi hakim konstitusi, Mahkamah Konstitusi selalu berpendirian jika hal tersebut adalah menjadi wewenang pembentuk undang-undang, juga tidak bertentangan dengan konstitusi dan prinsip-prinsip kebijakan hukum terbuka," kata Hakim MK Daniel Yusmic P. Foekh saat membacakan pertimbangan putusan.
Pemohon semula menginginkan agar ketentuan ketentuan norma Pasal 15 ayat (2) UU MK yang mengatur berkenaan syarat-syarat menjadi hakim konstitusi ditambahkan syarat “tidak terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga dengan Presiden dan/atau anggota DPR”. MK menilai hal ini tidak dapat dipisahkan.
"Ini merupakan satu kesatuan dengan syarat-syarat lain yang secara kumulatif harus dipenuhi oleh calon hakim konstitusi sebagaimana yang dimaksudkan dalam norma Pasal 15 ayat (2) huruf a sampai dengan huruf h UU MK," ujar Daniel.
Sebelumnya, dalam permohonannya, Pemohon menganggap dirugikan secara spesifik dan aktual atau setidak-tidaknya berpotensi dilanggar dengan berlakunya norma yang terdapat di dalam Pasal 15 ayat (2) UU MK. Menurut Pemohon, norma Pasal 15 ayat (2) UU MK nyata dan jelas tidak selaras dan bertentangan dengan ketentuan Pasal 17 ayat (4) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 yang telah mengatur dengan jelas bahwa Ketua Majelis Hakim dan Hakim Anggota wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga dengan pihak yang diadili.
Pemohon merasa tidak mendapatkan jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil jika permohonan Pemohon ini diadili oleh hakim konstitusi yang memiliki hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga dengan pihak yang berkepentingan secara langsung dengan objectum litis (objek yang diadili) in casu terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga dengan Presiden dan/atau anggota DPR.
Untuk itu, dalam petitumnya, Pemohon meminta agar Majelis Hakim Konstitusi mengabulkan permohonan Pemohon dengan menyatakan Pasal 15 ayat (2) UU MK konstitusional bersyarat. Pasal 15 ayat (2) UU MK tidak bertentangan dengan UUD 1945 dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai “Untuk dapat diangkat menjadi hakim konstitusi, selain harus memenuhi syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), seorang calon hakim konstitusi harus memenuhi syarat: i. tidak terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga dengan Presiden dan/atau anggota DPR”.
Tercatat, eks Ketua MK Anwar Usman merupakan ipar dari Presiden Jokowi. Anwar akhirnya lengser dari jabatannya setelah dijatuhi sanksi etik berat. Hanya saja, Anwar masih berstatus hakim MK sampai saat ini.