REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Angka kemiskinan di Indonesia saat ini masih tergolong tinggi. Maka dari itu, pengentasan kemiskinan menjadi prioritas bagi banyak lembaga filantropi Islam, termasuk Lembaga Amil Zakat Infak dan Sedekah Muhammadiyah (LazisMu).
Menyambut akhir tahun 2023 dan awal 2024, LazisMu menggelar diskusi reflektif bertajuk "Kemiskinan dan Ketimpangan di Indonesia: Apa Peran Lembaga Zakat?" Forum ini dihadiri lebih dari 150 peserta secara daring pada Jumat (29/12/2023).
Dalam sambutannya, Ketua Badan Pengurus LazisMu Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Ahmad Imam Mujadid Rais menegaskan komitmen lembaganya dalam upaya mengentaskan kemiskinan di Indonesia. Seperti yang disebutkan dalam sebuah hadis Nabi Muhammad SAW, orang miskin cenderung lebih dekat pada kekufuran.
Dalam bahasa Arab, kufr berarti 'tertutup' atau 'terhalangi.' Maka, kekufuran itu dapat berkaitan bukan hanya pada aspek akidah Islam, tetapi juga ekonomi dan sosial. Dalam arti, individu atau keluarga miskin terhalangi aksesnya pada pemenuhan kebutuhan dasar.
"Orang miskin sering kali tidak mempunyai opsi, seperti 'mau makan apa hari ini' atau 'melakukan kerja apa.' Mereka mengalami deprivasi sosial maupun ekonomi. Untuk bisa survive, mereka akhirnya terjerumus melakukan hal-hal yang melanggar aturan agama atau norma sosial dan hukum," kata Ahmad Imam Mujadid Rais.
Zakat, infak, sedekah (ZIS), dan wakaf dapat menjadi instrumen untuk mengatasi persoalan demikian. Ia mengatakan, LazisMu siap meningkatkan kontribusi dalam kerja-kerja pemberantasan kemiskinan dan ketimpangan di Tanah Air, melalui penghimpunan dan penyaluran ZIS kepada para mustahik.
“Harapannya adalah agar zakat yang diberikan oleh para muzakki melalui LazisMu dapat berkontribusi dalam pengentasan kemiskinan. Sehingga, kemiskinan tidak mendorong saudara-saudara kita ke dalam kekufuran," ujar Rais.
Bendahara Umum PP Muhammadiyah Prof Hilman Latief selaku keynote speaker dalam forum ini mengapresiasi kinerja LazisMu di sepanjang 2023. Bagaimanapun, lanjut dia, lembaga ini dan Muhammadiyah umumnya masih perlu merumuskan beberapa hal terkait ikhtiar mengentaskan kemiskinan dan mengatasi ketimpangan.
Sebagai contoh, lanjut dia, Muhammadiyah perlu membuat definisi tentang kemiskinan dan pengentasan kemiskinan. Barulah kemudian, Persyarikatan dapat merancang strategi-strategi yang terukur dan feasible diterapkan di lapangan. Hal itu untuk mewujudkan narasi besar di balik ibadah zakat, yakni "mengubah mustahik menjadi muzaki."
LazisMu agar membuat pilot projects di masing-masing provinsi di Indonesia.
"Karena itu, saya mendorong LazisMu agar membuat pilot projects di masing-masing provinsi di Indonesia. Tentukan tempatnya, problematikanya di lapangan seperti apa, dan berapa lama LazisMu atau MPM (Majelis Pemberdayaan Masyarakat Muhammadiyah) intervensi di sana," kata Hilman Latief.
"Begitu pula, aspek-aspek apa saja yang kita intervensi. Kita juga mesti mengukur, bagaimana perkembangan sejak awal intervensi hingga periode tertentu. Nah, dari sinilah muncul semacam laboratorium filantropi Islam," sambung ketua LazisMu periode 2015-2020 itu.
Menurut Hilman, pengentasan kemiskinan tentu bukanlah sebuah proses yang instan. Ini membutuhkan waktu, strategi, desain yang kuat, serta fokus. Karena itu, lembaga-lembaga filantropi Islam, termasuk LazisMu, mesti berani melakukan evaluasi diri.
"Sudah berhasilkah proses pemberdayaan dan pengentasan kemiskinan yang kita lakukan? Bisakah kita menunjukkan profil keberhasilan dari pemberdayaan ekonomi yang kita lakukan dalam pengentasan kemiskinan? Lazismu ke depan termasuk lembaga-lembaga lain harus berani melakukan evaluasi diri," imbuh dia.
Koordinator Bidang Kajian Kemiskinan dan Ketimpangan UGM, Wisnu Setiadi Nugroho dalam paparannya mengatakan, pembangunan berkelanjutan harus dilakukan secara bersama dan inklusif. Setiap bagian masyarakat pun harus diangkat oleh gelombang kesuksesan pertumbuhan ekonomi.
"Untuk perbaikan sosial yang efektif dan berkelanjutan di Indonesia, fokus kita harus beralih untuk memperkuat modal manusia melalui program perlindungan sosial," papar Wisnu.
Pendekatan ini juga membentuk dasar untuk produktivitas dan kesetaraan jangka panjang. Di samping itu, Wisnu menambahkan bahwa sistem perlindungan sosial perlu dilengkapi dengan perubahan struktural dan penyesuaian dengan kebijakan makro ekonomi yang lebih luas.