REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Suryo Utomo mengakui penerapan rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12 persen pada 2025 mendatang perlu mempertimbangkan situasi politik dan kondisi ekonomi. Hal itu menjadi pertimbangan meskipun rencana kenaikan PPN sudah menjadi amanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) dan harus diberlakukan paling lambat 1 Januari 2025.
"Namun demikian berkenaan dengan adanya transisi pemerintahan oleh karena itu perlu fatsun politik untuk mengkomunikasikan terkait dengan tarif PPN 12 persen ini," ujar Suryo saat hadir dalam Konferensi Pers APBN KiTa Edisi Maret 2024 di Aula Mezzanine Gedung Djuanda I, Kementerian Keuangan, Senin (25/3/2024).
Suryo melanjutkan, kondisi ekonomi juga akan turut menjadi pertimbangan pemerintah dalam menerapkan rencana kenaikan PPN tersebut.
"Jadi di sisi yang lain kami juga terus melihat, mengkaji kondisi ekonomi yang ada di sekeliling dari kegiatan-kegiatan ekonomi yang sangat berpengaruh terhadap peningkatan PPN," ujarnya.
Untuk itu, Suryo menyebut Kemenkeu masih akan melihat perkembangan selanjutnya.
"Ini ke depan jadi betul-betul kami masih menunggu kira-kira perkembangan akan seperti apa diskusi berikutnya," ujarnya.
Kenaikan PPN 12 persen merupakan salah satu rencana penyesuaian pajak pemerintah yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Dalam UU HPP disebutkan bahwa berdasarkan Pasal 7 ayat 1 UU HPP, tarif PPN yang sebelumnya sebesar 10 persen diubah menjadi 11 persen yang sudah berlaku pada 1 April 2022 lalu, dan kembali dinaikkan 12 persen paling lambat pada 1 Januari 2025.
Dalam Pasal 7 ayat 3, tarif PPN dapat diubah menjadi paling rendah 5 persen dan yang paling tinggi 15 persen. Namun, kata Menko Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, penyesuaian peraturan itu tergantung dari kebijakan pemerintah selanjutnya.