REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Serangan terhadap sistem perangkat komunikasi di Lebanon, yang diduga dilakukan oleh Israel, dapat disebut sebagai sebuah tindak terorisme, demikian menurut Pakar Timur Tengah dari Universitas Indonesia (UI) Yon Machmudi.
“Karena bagaimanapun, sasaran korban (serangan) tak bisa diprediksi dan justru banyak menyasar ke warga sipil dan orang-orang yang tidak terlibat dalam peperangan,” ucap Yon saat dihubungi di Jakarta, Kamis.
Menurut Yon, serangan terhadap sistem komunikasi yang digunakan Hizbullah dapat terjadi karena ada pihak-pihak lain yang diintervensi oleh Israel.
Ia menyatakan bahwa melalui serangan sistematis tersebut, Israel berupaya menimbulkan rasa ketakutan yang besar sehingga memaksa Hizbullah menghentikan serangan terhadap Israel.
Namun, karena serangan tersebut menyebabkan jatuhnya korban sipil dan menunjukkan bahwa Hizbullah telah berhasil disusupi hingga titik yang cukup dalam, kelompok Syiah Lebanon tersebut sangat mungkin melancarkan serangan balasan.
“Tampaknya, justru (serangan ini) memperkuat dan memperbesar potensi serangan-serangan balasan yang akan dilakukan Hizbullah terhadap Israel,” kata akademisi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI itu.
Yon juga menyatakan bahwa Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan komunitas internasional harus mengutuk serangan yang dilakukan “di luar kebiasaan” dan mengarah pada tindak terorisme tersebut, karena serangan semacam itu menyebabkan jatuhnya korban sipil dalam jumlah yang besar.
Usai ribuan unit penyeranta (pager) di seantero Lebanon tiba-tiba meledak pada Selasa (17/9), ledakan perangkat komunikasi lain seperti protofon (walkie-talkie) dilaporkan kembali terjadi pada Rabu (18/9).
Kementerian Kesehatan Lebanon menyatakan setidaknya 20 orang tewas dan 450 lainnya luka-luka dalam gelombang kedua ledakan perangkat komunikasi itu. Sementara, 12 orang tewas dan lebih dari 2.800 lainnya terluka dalam ledakan pertama.
Pemerintah Lebanon dan Hizbullah sama-sama menuduh serangan tersebut didalangi oleh Israel.
Sementara itu, media setempat melaporkan unit-unit protofon yang meledak tersebut dipasok ke Lebanon lima bulan yang lalu, hampir pada waktu yang bersamaan dengan datangnya unit-unit penyeranta yang meledak.