Rabu 17 Jul 2013 20:48 WIB

Karyawan Chevron Divonis Dua Tahun Penjara

Rep: Irfan Fitrat/ Red: Karta Raharja Ucu
Palu Hakim di persidangan (ilustrasi)
Palu Hakim di persidangan (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Suasana haru tampak di ruang persidangan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Rabu (17/7), selepas pembacaan putusan terdakwa karyawan PT Chevron Pacific Indonesia, Kukuh Kertasafari bin Hasanudin. Kukuh akhirnya divonis dua tahun pidana penjara dalam kasus bioremediasi.

"Menyatakan Kukuh Kertasafari terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi," kata Ketua majelis hakim Sudharmawatiningsih. Majelis hakim memang membebaskan Kukuh dari dakwaan primair. Namun, Ketua Koordinator Environmental Issues Seatlement Team (EIST) SLS Minas PT Chevron terjerat dakwaan subsidair.

Kukuh dinilai bersalah sesuai ketentuan Pasal 3 juncto (jo) Pasal 18 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP jo Pasal 64 ayat 1 KUHP. Selain pidana penjara, majelis hakim juga mengharuskan Kukuh untuk membayar denda Rp 100 juta dengan subsidair tiga bulan kurungan. Putusan itu memang lebih rendah dari tuntutan jaksa penuntut umum. Jaksa menuntut Kukuh dengan hukum lima tahun pidana penjara. Kemudian denda senilai Rp 500 juta dengan subsidair enam bulan kurungan.

Meski vonis lebih rendah, rasa haru tetap tampak di ruang persidangan. Mata Kukuh berkaca-kaca. Di bangku tempat pengunjung, istri Kukuh sudah meneteskan air mata. Sebelum keluar dari ruang persidangan, Kukuh sempat berpelukan dengan istrinya. Rekan-rekan Kukuh yang datang juga menunjukkan empatinya. Beberapa orang terlihat sedih mendengar Kukuh akan menghadapi vonis penjara.

Dalam pertimbangannya, majelis hakim menilai Kukuh sebagai Ketua Koordinator Tim EIST SLS Minas Chevron ikut menetapkan 28 lahan terkontaminasi minyak (COCS) pada Oktober 2009 hingga Juni 2012. Hal itu berawal dari pengaduan masyarakat pemilik lahan yang mengklaim tanahnya terkontaminasi minyak. Bagian pemeliharaan infrastruktur (REM-IMS) yang tergabung dalam Tim EIST kemudian melakukan survey. Dari hasil survei itu, Kukuh sebagai Ketua Koordinator Tim EIST tidak melakukan monitoring dan evaluasi terhadap 28 tanah sumber COCS itu.

Majelis hakim menilai penetapan 28 lahan yang dianggap terkontaminasi minyak itu tidak sesuai dengan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup (Kepmen LH) Nomor 128/2003. Kukuh juga dinilai mengetahui 28 lahan itu akan menjadi acuan perusahaan rekanan Chevron dalam proyek bioremediasi, PT Sumigita Jaya, dalam melakukan tugasnya. PT Sumigita yang dipimpin Herland bin Ompo kemudian mengangkut tanah dari beberapa lahan terkontaminasi minyak itu ke fasilitas pengolahan (SBF).

Dari hasil pengujian tim ahli dari pihak Kejaksaan Agung, ternyata praktek bioremediasi yang dilakukan PT Sumigita tidak sesuai dengan Kepmen LH 128/2003. Hasil pengujian tim ahli menunjukkan Total Petroleum Hydrocarbon (TPH) nol persen.

Tim ahli menilai hal itu sangat sulit terjadi karena biasanya TPH kurang atau sama dengan satu persen. Sehingga kesimpulannya tanah tidak pernah terkontaminasi minyak dan tidak perlu dilakukan proyek bioremediasi.

Hanya saja berdasarkan kontrak, Chevron sudah membayar senilai 6,900 US dollar pada PT Sumigita. Inilah yang dianggap sebagai kerugian negara karena Chevron mempunyai kerja sama dengan SKK Migas melalu sistem cost recovery.

Majelis hakim menilai Kukuh sudah menyalahgunakan kewenangannya sehingga menguntungkan Herland dari PT Sumigita. Selain itu, dalam pembebasan 28 lahan, Kukuh juga membubuhkan tanda tangan tanda persetujuan pembayaran ganti rugi pada 26 dokumen. Nilai ganti rugi itu senilai Rp 5,405 miliar yang dianggap menguntungkan masyarakat pemilik lahan.

Dari tiga hakim, satu menyatakan dissenting opinion. Anggota majelis hakim Slamet Subagio mempunyai pendapat berbeda. Ia mengatakan Kukuh sebagai Ketua Koordinator tim EIST tidak ikut menetapkan 28 lahan terkontaminasi minyak.

Berdasarkan keterangan saksi dan alat bukti, menurut dia, penetapan lahan terkontaminasi minyak itu dilakukan tim REM-IMS. "Dalam menetapkan tidak berdasar perintah terdakwa atau penugasan dari terdakwa," katanya.

Menurut Slamet, Kukuh juga tidak mempunyai kewenangan untuk melakukan penetapan lahan terkontaminasi minyak. Sebab, menurut Slamet, tim EIST bersifat sementara dan non-struktural tanpa ada surat penunjukkan. Selain itu, ia mengatakan, penetapan lahan terkontaminasi minyak sudah dilakukan oleh tim REM-IMS. Mengenai tanda tangan Kukuh dalam persetujuan pembayaran ganti rugi pembebasan lahan, menurut Slamet, memang ada. Namun, ia mengatakan, tanpa tanda tangan Kukuh, pembayaran itu bisa saja terjadi.

Slamet juga menilai pembebasan 28 lahan tidak terkait dengan proyek bioremediasi karena merupakan kegiatan terpisah. Pembebasan lahan dilakukan sebelum proyek bioremediasi terjadi. Dengan segala argumennya, Slamet menilai unsur dakwaan tidak terbukti. "Maka terdakwa harus dibebaskan dari dakwaan primair maupun subsidair," imbuhnya.

Hanya saja permintaan Slamet tidak terwujud dalam vonis. Dua hakim lainnya meyakini Kukuh telah melakukan tindak pidana korupsi. Mengenai vonis ini, Kukuh tidak menerima. Ia mengatakan akan mengajukan banding. Saat ditanya mengenai vonisnya, Kukuh berkomentar, "Seharusnya seperti hakim tadi (Slamet)." Ia merujuk pada sikap hakim Slamet yang menyatakan dia harus bebas dari dakwaan.

Salah satu penasihat hukum Kukuh, Maqdir Ismail, berang dengan putusan majelis hakim. Ia menilai, dua hakim tidak mempertimbangkan keterangan saksi meringankan dan ahli dari pihaknya. Maqdir melihat telah terjadi proses penghukuman terhadap kliennya, bukan peradilan. Karena itu, dengan tegas ia akan mengajukan banding. "Pasti banding. Andaikan satu hari, satu jam ditahan, kami akan banding," tutupnya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement