REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Orang yang disebut-sebut sebagai calo atau perantara tersangka mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar, Muhtar Ependy, diduga dapat melakukan pemalsuan surat C1 untuk memenangkan calon kepala daerah yang dimenangkannya di MK.
Wakil Ketua KPK, Bambang Widjojanto, mengatakan hal itu belum dapat disimpulkan namun ia menilai berbahaya jika Muhtar dapat melakukan pemalsuan tersebut. "Kita belum sampai ke situ, kalau betul main di C1, bahaya betul. Bayangin saja kalau C1 itu bisa dipalsu, karena itu kan di dalam dokumen pemilu, sangat penting, selalu dipakai untuk konfirmasi jumlah suara," kata Bambang yang ditemui di Istora Senayan, Jakarta, Senin (9/12).
Bambang menambahkan dengan adanya dugaan seperti itu, KPK akan mengusulkan kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengenai sistem informasi untuk mengamankan dokumen penting terkait pilkada. Pasalnya KPK sudah mengembangkan model sistem informasi yang dapat mengenali dokumen milik KPK atau bukan.
Jika ada Berita Acara Pemerikasan (BAP) yang bocor terkait kasus Hambalang, maka akan diperiksa apakah memang milik KPK. Kalau modelnya berbeda, maka kebocoran itu pasti didapatkan dari tim kuasa hukum tersangka kasus Hambalang.
Makanya, ia mengimbau ada tiga sistem keamanan yang perlu dibangun seperti memastikan pemilih ditransformasikan kepada suara yang menjadi alat bukti. Setelah itu, lanjutnya, memastikan permasalahan apakah ada di sistem manual atau online. Jika masalah ada di sistem online, maka harus diaudit.
Mengenai dugaan pemalsuan surat C1 itu, tokoh yang kerap disapa BW ini mengaku belum mendapatkan informasi tersebut. Pasalnya KPK sedang fokus pada pengumpulan keterangan dan bukti untuk pihak yang sudah menjadi tersangka Akil Mochtar. Sedangkan pengujian surat C1 yang disita dari kantor Muhtar Ependy di Cibinong, bukan kompetensi KPK.
Pemalsuan surat juga merupakan tindak pidana umum. Saat ditanya jika terbukti adanya pemalsuan apakah akan diserahkan kepada kepolisian, BW menilai pihaknya akan melaporkan terlebih dahulu kepada KPU. "Ini kan bukan delik aduan, jadi sensitivitas untuk mulai masuk di sini harus sudah mulai jalan. Cuma di KPK nanti dokumen-dokumen itu pasti akan diserahkan, paling tidak ke KPK, kan kami punya MOU (nota kesepahaman) dengan KPU juga dengan Bawaslu," katanya.