REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Sikap Mahkamah Konstitusi (MK) yang keberatan terhadap dua anggota Panitia Seleksi Calon Hakim Mahkamah Konstitusi, Refly Harun dan Todung Mulya Lubis dinilai terlalu berlebihan.
"Apa yang disampaikan oleh MK terlalu berlebihan," ujar peneliti Indonesian Legal Rountable (ILR) Erwin Natosmal Oemar, Senin (15/12).
Hal itu dia sampaikan untuk menanggapi keputusan MK yang mengirimkan surat keberatan kepada Presiden Joko Widodo terhadap penunjukan Refly Harun dan Todung Mulya Lubis sebagai anggota Pansel Hakim MK.
"Pertama, menurut saya itu bukan kewenangan MK. Kedua, itu seperti bentuk ancaman dari MK kepada Presiden. Itu tentu tidak pantas," ucap Erwin.
Dia kemudian menambahkan bahwa kedua nama yang tidak disetujui oleh MK berprofesi sebagai advokat. Namun, seluruh panitia seleksi yang terpilih juga pernah menjadi ahli dalam persidangan di MK, sehingga seharusnya seluruh panitia seleksi juga turut dilaporkan.
"Ingat, para advokat hanya membantu para pemohon. jika pun benar ada potensi konflik kepentingan, maka potensinya sangat kecil karena masih ada lima anggota pansel lainnya," ujar dia.
Erwin bahkan menyebutkan bahwa panitia seleksi yang pernah menjadi ahli justru memiliki kepentingan yang lebih menonjol dibandingkan advokat.
Sebelumnya dalam Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) yang digelar pada Kamis (11/12), MK memutuskan untuk mengirim surat keberatan tersebut kepada Presiden Joko Widodo.
Sekretaris Jenderal MK Janedjri M Ghaffar mengatakan, RPH tersebut mengamanatkan kepada Ketua MK untuk berkirim surat kepada Presiden Jokowi untuk mempertimbangkan kembali dua nama tersebut.
Menurut Janedjri, Refly maupun Todung merupakan advokat yang tercatat aktif berperkara di MK.
"Untuk menjaga objektivitas, kiranya Presiden dapat mempertimbangkan kembali keanggotaan kedua nama tersebut," kata Janedjri saat konferensi pers, Jumat (12/12).